Kontras Cium Unsur Wajib Militer

JAKARTA-Draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) meski sudah diperbaharui oleh pemerintah, tetapi masih menuai kontroversi. Draf itu bahkan dinilai memiliki tafsir adanya wajib militer bagi masyarakat sipil.

"Ada pasal baru tentang komponen cadangan (dalam draf baru RUU Kamnas), jadi kesannya masyarakat dilibatkan tapi bukan dilibatkan sebagai anggota Dewan Keamanan Nasional yang mempunyai kewenangan menentukan hitam-putih kebijakan, tetapi dilibatkan sebagai alat unsur komponen cadangan di lapangan yang itu berarti wajib militer, pendidikan militer yang akan dikerahkan sebagai alat pendukung TNI di lapangan," kata Ketua Dewan Pengurus Kontras, Usman Hamid.

Menurut Usman, tafsir wajib militer itu mengingatkan pada UU Penanggulangan Keadaan Bahaya tahun 1999 yang ditolak oleh mahasiswa lalu kemudian berakibat dengan tewasnya sejumlah mahasiswa.

"Undang-undang itu juga mengatur tentang pembentukan rakyat terlatih, jadi membentuk semacam unsur militer dalam masyarakat untuk dilengkapkan dalam TNI yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik masyarakat, konflik horizontal dalam masyarakat," jelasnya.

Ia menuturkan, jika pembentukan Dewan Keamanan Nasional sebagaimana pasal 22 betul-betul ingin melibatkan masyarakat, maka harus merujuk pada pasal 15 UU Pertahanan Negara.

"Kalau mau melibatkan masyarakat yang benar maka kita merujuk pada pasal 15 UU Pertahanan negara yang mengatakan dewan keamanan nasional terdiri dari unsur pemerintah dan unsur non pemerintah. Unsur pemerintah adalah menteri startegis termasuk presiden, dan unsur non pemerintah misalnya kalangan akademisi, atau ahli di bidang pertahanan, intelejen, maupun keamanan termasuk tokoh masyarakat," kata Usman.

"Itu yang dihilangkan oleh naskah yang lama RUU Kamnas pasal 59, dan dalam RUU Kamnas yang katanya diperbaharui, saya sudah baca itu tidak diubah tetap sama semangatnya tidak melibatkan unsur masyarakat sebagai penentu. Hanya melibatkan masyarakat dalam konteks yang lain yaitu pengerahan TNI dan masyarakat dilibatkan sebagai komponen cadangan, komponen wajib militer (wamil)," lanjut aktivis HAM itu.
Maka, ia menilai, meskipun sudah ada penghapusan lima pasal dalan draf RUU Kamnas yang baru, tidak berarti pasal yang berbahaya dihilangkan. Bahkan muncul tafsir wajib militer bagi masyarakat terkait keamanan nasional.

"Kalau berkurang jumlah pasal, tidak berarti pasal-pasal yang berbahaya itu dihilangkan. Misal, sejauh ini pengerahan TNI dapat dilakukan tanpa persetujuan politik, dalam pasal 30. Bahkan ada pasal baru tentang komponen cadangan yang kesannya masyarakat dilibatkan sebagai alat unsur komponen cadangan di lapangan yang berarti wajib militer," kritiknya. (dtc)