KontraS: Kebijakan Pemerintah Lokal Picu Tumbuhnya Kelompok Teror di Poso

Jakarta – Poso kembali bergejolak. Rentetan penyergapan kelompok teroris oleh tim Datasemen Khusus 88/Antiteror dan gabungan kepolisian terus dilakukan. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menuding kebijakan politik pemerintah lokal di Poso turut menjadi pemicu tindakan kriminal di wilayah eks konflik.

"Kebijakan politik pemerintah lokal di Poso juga ikut menjadi pemicu berbagai tindakan kriminal baru. Bagi-bagi proyek pembangunan pasca konflik oleh Bupati Poso kepada kelompok-kelompok eks kombatan konflik telah menciptakan segregasi di kelompok tersebut. Karena keliru dalam pengelolaannya, tujuan de-radikalisasi melalui program pemberdayaan eks kombatan konflik ini telah berujung pada re-radikalisasi," seperti dikutip dalam keterangan pers yang disiarkan KontraS, Minggu (4/11/2012).

Penyergapan kelompok teroris di kawasan Kayamanya, Gebang Rejo bukan hanya terjadi, Sabtu (3/11) kemarin saja. 2007, Densus 88 AT juga menggepung wilayah yang diduga menjadi tempat persembunyian Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Mujahidin dan Kompak. Dalam penyergapan tersebut puluhan orang ditangkap dan diadili. Mereka masih menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan di Palu, Luwuk dan Ampana, Sulteng.

"Bagi mereka yang telah bebas dari hukuman penjara, beberapa di antaranya memilih untuk mengelola proyek-proyek sebagai kontraktor dalam skema pengelolaan ala Bupati Poso, Piet Ingkiriwang," jelas KontraS.

Kegagalan pemerintah dalam melakukan upaya pendekatan dengan kelompok masyarakat korban konflik ini kemudian membentuk kelompok radikal dan dikelola kelompok-kelompok yang terorganisir dari luar Poso.

"Temuan pada kasus penggerebekan terduga teroris di Desa Kalora, Poso Pesisir Utara pada 31 Oktober 2012, seorang yang menjadi target polisi tewas tertembak dan 5 orang lainnya ditangkap. Identitas dari keenam orang tersebut menunjukkan kalau mereka bukan warga Poso. Hal ini menunjukkan kalau kelompok radikal yang ada di Poso sulit melakukan pengembangan kader/anggota," jelas KontraS.

KontraS juga menuding polisi melakukan pendekatan represif dalam penggerebekan teroris di Desa Kalora (31/10) lalu yang menyebabkan seorang tewas tertembak dibagian kepala dan paha. Operasi yang dilakukan pada pagi hari itu sangat memungkinkan bagi polisi menangkap orang-orang yang menjadi target.

"Semestinya, dukungan masyarakat di lokasi kejadian dimanfaatkan polisi untuk menangkap tanpa harus menembak mati target operasi. Setelah operasi di Kalora, pada malam hari Polisi melanjutkan penggerebekan sebuah warnet di dusun Bhakti Agung, Polisi mengaku menemukan sejumlah barang milik terduga teroris yang ditangkap di Kalora. Namun anehnya gelar barang bukti kasus kalora dilakukan 2 hari setelah penggerebekan," papar KontraS.

Operasi penyergapan Sabtu (3/11) di Jl Irian yang terjadi di tengah pemukiman padat penduduk yang menyebabkan korban tewas dan berdampak pada protes warga di Kayamanya.

"Dari dua model operasi penindakan polisi diatas menunjukkan komunikasi antara kepolisian dan warga di Poso tidak berjalan dengan baik. Tuntutan untuk mengevaluasi kembali efektifitas keberadaan Polisi Masyarakat (Polmas) dan Bantuan Keamanan Desa (Bakemdes) harus segera dilakukan," jelas KontraS.

KontraS berharap penataan kembali keamanan di Poso hendaknya dilakukan secara bersama dengan unsur pemerintah dan masyarakat. Temuan orang-orang yang diduga terlibat pada aksi kekerasan saat ini, yang bukan merupakan warga di Poso, menunjukan lemahnya sistem pendataan kependudukan di Poso. Agenda-agenda preventif hendaknya kembali diformulasikan untuk menata kehidupan masyarakat Poso.

KontraS: Kebijakan Pemerintah Lokal Picu Tumbuhnya Kelompok Teror di Poso

Jakarta – Poso kembali bergejolak. Rentetan penyergapan kelompok teroris oleh tim Datasemen Khusus 88/Antiteror dan gabungan kepolisian terus dilakukan. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menuding kebijakan politik pemerintah lokal di Poso turut menjadi pemicu tindakan kriminal di wilayah eks konflik.

"Kebijakan politik pemerintah lokal di Poso juga ikut menjadi pemicu berbagai tindakan kriminal baru. Bagi-bagi proyek pembangunan pasca konflik oleh Bupati Poso kepada kelompok-kelompok eks kombatan konflik telah menciptakan segregasi di kelompok tersebut. Karena keliru dalam pengelolaannya, tujuan de-radikalisasi melalui program pemberdayaan eks kombatan konflik ini telah berujung pada re-radikalisasi," seperti dikutip dalam keterangan pers yang disiarkan KontraS, Minggu (4/11/2012).

Penyergapan kelompok teroris di kawasan Kayamanya, Gebang Rejo bukan hanya terjadi, Sabtu (3/11) kemarin saja. 2007, Densus 88 AT juga menggepung wilayah yang diduga menjadi tempat persembunyian Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Mujahidin dan Kompak. Dalam penyergapan tersebut puluhan orang ditangkap dan diadili. Mereka masih menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan di Palu, Luwuk dan Ampana, Sulteng.

"Bagi mereka yang telah bebas dari hukuman penjara, beberapa di antaranya memilih untuk mengelola proyek-proyek sebagai kontraktor dalam skema pengelolaan ala Bupati Poso, Piet Ingkiriwang," jelas KontraS.

Kegagalan pemerintah dalam melakukan upaya pendekatan dengan kelompok masyarakat korban konflik ini kemudian membentuk kelompok radikal dan dikelola kelompok-kelompok yang terorganisir dari luar Poso.

"Temuan pada kasus penggerebekan terduga teroris di Desa Kalora, Poso Pesisir Utara pada 31 Oktober 2012, seorang yang menjadi target polisi tewas tertembak dan 5 orang lainnya ditangkap. Identitas dari keenam orang tersebut menunjukkan kalau mereka bukan warga Poso. Hal ini menunjukkan kalau kelompok radikal yang ada di Poso sulit melakukan pengembangan kader/anggota," jelas KontraS.

KontraS juga menuding polisi melakukan pendekatan represif dalam penggerebekan teroris di Desa Kalora (31/10) lalu yang menyebabkan seorang tewas tertembak dibagian kepala dan paha. Operasi yang dilakukan pada pagi hari itu sangat memungkinkan bagi polisi menangkap orang-orang yang menjadi target.

"Semestinya, dukungan masyarakat di lokasi kejadian dimanfaatkan polisi untuk menangkap tanpa harus menembak mati target operasi. Setelah operasi di Kalora, pada malam hari Polisi melanjutkan penggerebekan sebuah warnet di dusun Bhakti Agung, Polisi mengaku menemukan sejumlah barang milik terduga teroris yang ditangkap di Kalora. Namun anehnya gelar barang bukti kasus kalora dilakukan 2 hari setelah penggerebekan," papar KontraS.

Operasi penyergapan Sabtu (3/11) di Jl Irian yang terjadi di tengah pemukiman padat penduduk yang menyebabkan korban tewas dan berdampak pada protes warga di Kayamanya.

"Dari dua model operasi penindakan polisi diatas menunjukkan komunikasi antara kepolisian dan warga di Poso tidak berjalan dengan baik. Tuntutan untuk mengevaluasi kembali efektifitas keberadaan Polisi Masyarakat (Polmas) dan Bantuan Keamanan Desa (Bakemdes) harus segera dilakukan," jelas KontraS.

KontraS berharap penataan kembali keamanan di Poso hendaknya dilakukan secara bersama dengan unsur pemerintah dan masyarakat. Temuan orang-orang yang diduga terlibat pada aksi kekerasan saat ini, yang bukan merupakan warga di Poso, menunjukan lemahnya sistem pendataan kependudukan di Poso. Agenda-agenda preventif hendaknya kembali diformulasikan untuk menata kehidupan masyarakat Poso