Nasib Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat

Kemana arah penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang (semakin) penting. Indikasinya adalah sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) awal November 2012 lalu yang menyatakan penyelidikan peristiwa 1965/1966 dan peristiwa Pembunuhan Misterius 1980-an dikembalikan ke Komnas HAM. Pengembalian ini dihiasi dengan alasan, salah satunya para pelaku sudah banyak yang meninggal.

Tindakan pengembalian berkas oleh Kejagung bukan hal yang baru atau pertama kali. Sikap ini sudah sering terjadi, paling tidak selama 10 tahun terakhir sejak zaman Jaksa Agung MA Rachman, Abdul Rahman Saleh, Hendarman Supandji, hingga saat ini Jaksa Agung Basrief Arief.

Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda namun menarik ditengok. MA Rachman dan Hendarman Supandji merupakan Jaksa karir yang memang berasal dari zaman orde baru. Demikian juga dengan Basrief Arief. Yang berbeda dengan Basrief adalah dia pernah menjadi jaksa penuntut umum di pengadilan HAM (adhoc) kasus Timor Timur.

Sementara Abdul Rahman Saleh berlatar belakang aktivis bantuan hukum, menjadi notaris dan sempat gabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB). Intinya, dengan latar belakang yang berbeda-beda, tidak mempengaruhi kemauan dan kemampuan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan sesuai diamanatkan UU nomor 26 tentang Pengadilan HAM.

Catatan awal pengembalian berkas oleh Kejagung diawali sejak kasus Trisakti, Semanggi I dan II pada 2002 yang kemudian berlanjut ke berkas kasus-kasus lain; Rusuh dan tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1998, Talangsari 1989, Wamena dan Wasior Papua.

Alasan yang kerap digunakan Kejaksaan Agung adalah perlunya pembentukan pengadilan HAM adhoc terlebih dahulu sebelum dilakukan penyidikan. Argumentasi dibalik alasan ini adalah Kejagung memerlukan surat pengadilan untuk melakukan upaya hukum. Alasan lain adalah soal ne bis in idemâ??yang diterjemahkan sebuah kasus tidak bisa diadili dua kali. Hal ini diarahkan pada kasus Trisakti dan Semanggi II dimana pengadilan militer pernah diadakan untuk menghukum pelaku lapangan. Lainnya, adalah penyelidik di Komnas HAM yang tidak disumpah mengingat penyelidikan yang dilakukan adalah proses pro justisia. Masih banyak lagi alasan-alasan yang diberikan Kejagung, yang disampaikan ke media maupun di forum rapat dengar pendapat umum dengan DPR.

Setelah 10 tahun, alasan demi alasan yang diberikan Kejagung lebih terlihat sebagai sebuah modus pengingkaran mandat hukum, dalam hal ini UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ada sejumlah alasan yang bisa dijelaskan secara singkat disini, diantaranya;

Pertama, argumentasi hukum yang digunakan Kejagung tidak tepat. Sebagai contoh, ne bis in idem tidak bisa diberlakukan pada kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Pengadilan Militer berbeda yurisdiksi dengan pengadilan HAM. Pengadilan HAM, diantaranya, memeriksa aspek perluasan kekerasan dan penanggung jawab atas kekerasan tersebut. Sementara pengadilan militer hanya melihat pada level pelaku lapangan dan aspek disiplin militer.

Dalam kasus penghilangan aktifis 1998, Peradilan militer gagal mengadili Pasukan Mawar Kopassus dibawah Prabowo Soebiakto dengan delik penghilangan orang (mereka yang masih hilang dan belum kembali hingga kini). Patut diduga karena KUHP Militer tidak mengenal delik tersebut. Maka Pengadilan HAM berguna memerintahkan pemerintah untuk mencari mereka.

Kedua, jika memang ada alasan tafsir hukum yang tidak tuntas, bukankah 10 sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk menumpuk catatan kegagalan tersebut. Pertanyaan kritisnya, sudahkah hal ini dikomunikasikan di tingkat Presiden dan pemerintah (seperti Kementerian Hukum HAM), penegak hukumâ??dalam hal ini Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan MA, lingkaran istana Wantimpres dan UKP4, dan DPR RI?

Sangat aneh jika Kejagung tidak pernah membahas kebuntuan ini mengingat sejumlah hal, diantaranya, ada hak para korban yang dirampas, ada korban yang dianiaya dan merasakan dampak buruknya. Sepatutnya pejabat Kejagung memiliki empati atas soal ini. Bahkan hak-hak tersebut merupakan janji penegakan hukum di Konstitusi Indonesia. Dari perspektif lain, selama 10 tahun, kemana anggaran "penyelesaian pelanggaran HAM yang berat" yang berada dibawah Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dihabiskan selama 10 tahun terakhir? Kenapa tidak ada hasil?

Hari-hari ini sudah sepatutnya dilakukan sebuah evaluasi yang serius atas peran Kejagung dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Namun siapa yang bisa melakukannya? UKP4 juga tidak pernah memberikan sinyal catatan buruk atas kinerja Kejagung dalam soal penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM yang berat. Presiden juga tidak terlihat perannya.

Situasi ini adalah situasi deadlock. Dan membuat frustasi harapan pemenuhan HAM di Indonesia. Pantas jika kemudian kekerasan semakin merebak, kepercayaan terhadap penegak hukum rendah dan SBY makin tidak populis