Catatan KontraS tentang Peringatan Hari HAM: Polisi Tidak Pofesional

JAKARTA (VoA-Islam) – Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2012 ini, KontraS menulis catatan pendek seputar penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Diantara point yang menjadi perhatian KontraS adalah kasus penanganan terorisme di Tanah Air dan Kebebasan Beragama.

Dari pemantauan KontraS, intensitas operasi anti-terorisme dilakukan sejak bulan Januari 2012 untuk 35 operasi penindakan di sejumlah daerah, mulai dari Aceh, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Meskipun skup operasi penindakan berlangsung luas, tapi ada beberapa preseden penindakan yang dilakukan secara intensif, khususnya pada kasus Teror Solo dan operasi penegakan hukum di Poso.

Pada kasus Teror Solo, target yang disasar adalah aparat kepolisian. Skala kekerasan mulai mengerucut jelang Idul Fitri Agustus 2012. Beberapa pos keamanan polisi menjadi target sasaran dari kelompok ini.

Sedangkan pada konteks eskalasi teror dan kekerasan sejak pertengahan Agustus 2012, KontraS turut serta melakukan pemantauan di lokasi kejadian, khususnya di beberapa kota seperti Kota Poso, Dusun Tamanjeka (Poso Pesisir) dan Desa Kalora (Poso Pesisir Utara). Hingga 4 November 2012, KontraS mencatat operasi anti-teror ini telah menangkap 25 orang, di antaranya 2 orang tewas tertembak saat operasi berlangsung dan 3 orang dibebaskan karena tidak terbukti.

Penanganan kasus terorisme di Poso bukan pertama kali, pada tanggal 11-22 Januari 2007, Mabes Polri menggelar operasi penegakan hukum dengan sandi Lanto Dago untuk menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat aksi kekerasan di Poso. Meskipun polisi menyatakan berhasil menangkap beberapa orang yang menjadi target operasi namun fakta dilapangan menunjukkan adanya ketidak profesionalan Polri dalam melakukan penegakan hukum.

Kebebasan Beragama

Di bidang agama, KontraS mencatat, tahun ini masih minimnya jaminan perlindungan kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah. Menurut KontraS, kekerasan yang dulu banyak dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), kini mulai menjalar kepada kelompok minoritas Kristiani (HKBP), dan akhir-akhir ini juga menyerang Syiah di Sampang Madura. Tuduhan-tuduhan yang menjurus pada politik diskriminasi, kemudian menjadi pemicu bola salju kekerasan struktural yang mereka alami.

KontraS juga menilai, ketidakmampuan negara dalam meredam kekerasan yang diarahkan kepada kelompok-kelompok minoritas keagamaan dan keyakinan, juga diperburuk dengan sikap acuh tanpa solusi. Warga Sampang yang beraliran Syiah kini tinggal di barak pengungsian sejak pengusiran dilakukan pada Bulan Januari 2012 dan kriminalisasi keyakinan kepada Ustad Tajul Muluk-pemimpin kelompok Syiah- yang dituduh telah menyebarkan aliran sesat.

Tidak hanya itu, lanjut KontraS, sumber-sumber penghidupan warga yang seharusnya mereka dapatkan di lokasi pengungsian kini mulai dihentikan. Tercatat sejak awal November 2012 pemerintah Kabupaten Sampang telah menghentikan bantuan makan siap konsumsi, dengan dalih kehabisan dana penanggulangan pengungsi. Kondisi menyedihkan serupa juga masih dialami pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram.

Dalam isu anti-Ahmadiyah, pelarangan penyelenggaraan ibadah Salat Idul Adha tahun ini di Kota Bandung oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Tuduhan aliran sesat juga berhembus di Provinsi Aceh. Kasus yang menimpa Tengku Aiyub Syakubat di Bireun merupakan salahsatu kasus serius yang tetap harus ditindaklanjuti dalam proses penegakan hukumnya.

Sepanjang tahun 2012 agenda penegakan HAM masih belum menjadi prioritas utama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian KontraS dalam pernyataan sikapnya. Desastian/dbs