Jalan Panjang untuk Ungkap Tragedi 1965-1966

Ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelesaikan penyelidikan peristiwa terkait dengan tragedi 1965-1966 pada pertengahan tahun lalu, ada harapan misteri kasus ini akan terungkap. Komnas HAM menyimpulkan, terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut.

Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, penyelidikan Komnas HAM merupakan penyelidikan pro justicia berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan agar Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan tim ad hoc tersebut. Namun, kenyataannya, jalan masih panjang untuk dapat mengungkap kasus tersebut karena bagi Kejaksaan Agung, penyelidikan Komnas HAM itu belum cukup.

Pada pertengahan November 2012, tim jaksa peneliti pelanggaran HAM berat 1965 yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. Alasannya, hasil penyelidikan Komnas HAM belum lengkap baik secara formal maupun materiil. Untuk syarat formal, Kejaksaan Agung mempermasalahkan penyelidik Komnas HAM yang belum di bawah sumpah. Adapun untuk syarat materiil, Kejaksaan Agung meminta penyelidik Komnas HAM melakukan pemeriksaan tambahan terhadap beberapa saksi guna mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus 1965 dan kasus penembakan misterius 1982-1985.

Setelah dilengkapi, pada awal Desember 2012, Komnas HAM menyerahkan kembali berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 dan kasus penembakan misterius tahun 1982-1985. Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, Kejaksaan Agung akan menelaah kembali apakah berkas kasus tersebut sudah memenuhi kelengkapan syarat formal dan materiil seperti yang diminta jaksa peneliti.

Jika hasil kajian tim jaksa menyimpulkan berkas sudah memenuhi syarat formal dan materiil, kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 dan kasus penembakan misterius tahun 1982-1985 akan ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dalam tahap penyidikan, tim jaksa Kejaksaan Agung akan mencari fakta dan bukti yang cukup untuk menetapkan pihak yang harus bertanggung jawab melalui serangkaian upaya hukum, seperti penggeledahan dan penyitaan.

Pengadilan "ad hoc"

Karena itu, jika diputuskan untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, Kejaksaan Agung membutuhkan pengadilan HAM ad hoc mengingat kasus tersebut terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc diperlukan Kejaksaan Agung untuk meminta izin melakukan upaya hukum, seperti penggeledahan dan penyitaan, selama penyidikan.

"Untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperlukan pengadilan HAM ad hoc," kata Basrief.

Berdasarkan UU No 26/2000, pengadilan HAM ad hoc dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan presiden. Namun, sampai saat ini, pengadilan HAM ad hoc tersebut belum terbentuk. Hal ini pulalah yang selama ini menjadi hambatan Kejaksaan Agung menyidik peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II tahun 1998. Panitia khusus DPR menilai kasus Trisakti dan Semanggi bukanlah pelanggaran HAM berat sehingga tidak perlu penyidikan oleh Kejaksaan Agung dan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Menurut Basrief, berdasarkan UU No 26/2000, pengadilan HAM ad hoc hanya mengadili pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, mantan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh mengatakan, persoalan pembentukan pengadilan HAM ad hoc terus menjadi polemik. Seharusnya DPR dan pemerintah tidak hanya menyetujui pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk beberapa kasus, tetapi juga untuk pelanggaran HAM berat lain yang terjadi pada masa lampau. Pengadilan HAM ad hoc sebelumnya pernah dibentuk untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur dan Tanjung Priok, Jakarta.
(Ferry Santoso/M fajar marta)