Senjata Bukan Pilihan Pulihkan Poso

Kinerja aparat keamanan dalam penanganan kasus terorisme kembali dikritik. Kasus salah tangkap warga yang diduga terlibat terorisme oleh aparat gabungan Densus 88 Anti Teror dan Brimob Polda Sulawesi Tengah di Poso, menunjukan bahwa operasi penanganan terorisme sebagian besar digelar serampangan.

Salah sasaran tersebut terjadi saat aparat gabungan Densus 88 Anti Teror, Brimob Polda Sulteng, dan Polres Poso, melakukan operasi penangkapan warga pasca penyerangan patroli Brimob di Dusun Tasioni, Desa Kalora, 20 Desember 2012.

Polisi menangkap 14 warga yang diduga mengetahui penyerangan yang menewaskan Brigadir Satu Ruslan, Briptu Winarto, Briptu Wayan Putu Ariawan, dan Briptu Eko Wijaya. Setelah 7 hari pemeriksaan, 14 warga tersebut dibebaskan karena tidak terbukti terlibat penyerangan.

Belakangan, 5 orang diantaranya mengaku dianiaya polisi selama pemeriksaan. Polda Sulteng kemudian membentuk tim penyelidikan yang dipimpin Kadiv Propam, Kombes Pol Deden Gardana.

Rafiq pendamping korban salah tangkap mengatakan, 14 warga Dusun Tasioni yang dituduh teroris tersebut sehari-hari bekerja sebagai petani dan penambang emas tradisional. Beberapa yang ditangkap bahkan masih belepotan lumpur sepulang dari ladang.

Menurut Rafiq, Brimob tiba di Dusun Tasioni saat seluruh warga turun ke ladang atau tambang. Mendapati dusun kosong, aparat gabungan menyimpulkan warga lari ke hutan karena ketakutan.

Aparat kemudian membulatkan dugaan bahwa warga Tasioni mengetahui insiden penembakan regu Brimob di Kalora dan Tambarana. Tanpa panjang cakap, polisi mencokok 14 warga. Mereka dipukuli sebelum diangkut truk ke Polres Poso.

Rafiq mengatakan, kebanyakan korban menderita lebam dan luka bocor di kepala akibat pukulan benda tumpul. Sukamto, salah seorang korban bahkan sempat dimasukan dalam karung sebelum dibawa ke polres.

Para korban hingga saat ini masih trauma. Mereka menolak pulang ke Dusun Tasioni dan memilih tinggal menumpang di rumah sanak famili di Poso. "Kami masih menunggu perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban," kata Rafiq.

Kasus "koboi-koboian" Brimob dan Densus 88, bukan cerita baru. Di Surakarta mereka juga melakukan aksi serupa. The Islamic Studies and Action Center (ISAC), mencatat sedikitnya terjadi 4 kasus salah tangkap oleh Densus 88 Anti Teror di Surakarta. Korban salah tangkap biasanya mengalami kekerasan fisik dan mental.

Aturan Longgar

Sejak Poso kembali panas, Oktober 2012, Kontras meminta komisi hukum DPR mengontrol atau meminta pertanggungjawaban Densus terkait dugaan penyalahgunaan wewenang.

Densus 88 dinilai arogan dan anti-kritik. Penggunaan cara kekerasan dalam penanganan kasus teror dapat mengundang kemarahan masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan mengundang potensi bagi keluarga atau warga yang simpati untuk melakukan balas dendam.

Jika cara yang digunakan tidak tepat, regenerasi pelaku kasus terorisme justru dapat muncul dari aksi melawan teror itu sendiri.

Di sisi lain aturan soal operasi pemberantasan terorisme memang sangat longgar. Densus misalnya, memiliki kewenangan untuk menahan orang yang diduga terlibat kasus terorisme selama 7 hari tanpa didampingi pengacara.

Aturan mengenai interogasi tanpa didampingi pengacara memang menjadi poin opsional dalam kasus terorisme. Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) misalnya, membolehkan interogasi terduga terorisme tanpa didampingi pengacara jika dianggap dapat menggagalkan penyelidikan.

Menghubungi pengacara dikhawatirkan dapat membocorkan informasi kepada tersangka terorisme lain bahwa suatu pelanggaran terorisme sedang diusut. Dikhawatirkan tersangka lainya memusnahkan, merusak, atau mengubah dokumen yang dibutuhkan.

Meski demikian, dalam surat perintah ASIO terdapat peryataan khusus yang menyatakan bahwa terduga terorisme dibolehkan menghubungi pengacara sesuai pilihan sendiri.

Lamanya penahanan juga dibatasi maksimal 7 hari. Penyidik ASIO dapat menambah masa penahanan, jika menemukan bukti baru keterlibatan terduga terorisme dalam kasus yang sedang diteliti. Pada kondisi normal, panahanan biasanya dilakukan maksimal 48 jam.

Densus Anti Teror juga sering dikeluhkan melakukan penangkapan tanpa disertai surat perintah. Padahal surat perintah wajib dimiliki aparat hukum saat melakukan penindakan.

Kritik terhadap operasi penanganan terorisme juga pernah disampaikan internal Polri. Dulu, saat masih menjabat Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Oegroseno pernah mempersoalkan tindakan Densus 88 yang main tembak di tempat, orang yang diduga teroris.

Tapi protes itu tidak digubris, dan Densus masih melakukan pelanggaran yang sama saat menangani kasus terorisme lainnya. Mekanisme pengawasan internal Polri terhadap Densus juga tampak longgar.

Operasi yang dilakukan Densus 88 banyak melanggar hak asasi manusia dan ini jelas melanggar Peraturan Kapolri tentang HAM. Tapi kenyataanya tidak pernah terdengar sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar tersebut.

Untuk kasus Poso, kritik juga harus dialamatkan kepada Polda Sulawesi Tengah. Kontras mencatat, dalam 2 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Brigjen Pol Dewa Parsana, terjadi peningkatan eskalasi kekerasan di Poso dan beberapa wilayah Sulteng lainnya.

Data tersebut menunjukan bahwa cara kekerasan yang dipilih Polda Sulteng justru menyebabkan situasi semakin tidak aman. Perlawanan justru semakin keras dan menimbulkan banyak jatuh korban di pihak aparat keamanan.

Di atas kertas, aturan penyelidikan kasus terorisme melarang penganiayaan. Namun, praktik penyiksaan sebagai cara untuk mengorek informasi masih dilakukan di negara manapun.

Padahal jika tujuan dari penyelidikan adalah sungguh-sungguh mencegah radikalisasi atau mencegah terulangnya tindakan terorisme, cara yang dilakukan harus mengundang simpati. Aparat harus menunjukkan bahwa seseorang yang dituduh teroris mempunyai hak hukum sampai dia dibawa ke pengadilan dan divonis bersalah.

Harapan tersebut dijawab Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo saat mengunjungi Poso kemarin. Timur Pradopo mengatakan, polisi memulai operasi teritorial khusus di wilayah tersebut.

Operasi teritorial kata Timur, dimaksudkan untuk merebut simpati dan dukungan masyarakat agar sama-sama menjaga keamanan di Poso. Polisi akan melibatkan warga untuk mengawasi pendatang baru, komunitas baru, atau mendeteksi dini kegiatan yang mengarah pada pelanggaran hukum.

Tampaknya layak ditunggu bentuk konkrit apa yang akan dipilih Polri dalam rangka meraih simpati masyarakat Poso tersebut. Semoga bukan senjata lagi yang menjadi pilihan memulihkan keamanan di Poso. (*)

Foto: Operasi Densus 88 di Surakarta (VHRmedia/ Fajar Sodiq)