TNI di Antara Peradilan Militer dan Politik

Bicara tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tentu tak bisa dipisahkan dari keberadaan alat utama sistem senjata (alutsista). Namun penekanan dalam perspektif lain, bukan hanya kemampuan modernisasi alutsista, melainkan juga kemampuan resolusi TNI yang lebih transparan dan profesional.

Berbeda dengan institusi maupun lembaga seperti Polri, KPK, atau lainnya, menutup tahun 2012, TNI belum melakukan transparansi capaian positif maupun negatif. Direktur Eksekutif Imparsial, Poenky Indarti mengkritik hal ini karena bertolak belakang dengan reformasi TNI.

Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas wajib diberikan pada rakyat selaku pembayar pajak yang mempunyai andil besar dalam membesarkan TNI sejak masa revolusi kemerdekaan.

"Kami masyarakat sipil mendesak TNI untuk mengeluarkan rilis akhir tahun sebagai bentuk pertanggungjawaban pada publik, khususnya terkait dengan reformasi TNI. Hal ini penting diketahui publik sebagai kewajiban untuk melaksanakan tugas monitoring terhadap TNI agar berada pada jalur yang tepat sesuai dengan amanat reformasi TNI," ujar Poenky, Kamis (3/1) malam.

Sementara itu, Koordinator Kontras Haris Azhar berpendapat TNI enggan menyodorkan transparansi karena tidak adanya capaian positif pada tahun 2012. Masih terkait transparansi, Poenky dan Haris sependapat pentingnya refomasi militer, khususnya mengenai peradilan militer. Seperti diketahui, TNI memiliki peradilan khusus terhadap anggotanya yang dianggap melanggar baik dalam bentuk pidana maupun ketidakdisiplinan.

Haris memandang dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), bahwa peran TNI harus fokus pada penuntasan reformasi militer seperti soal peradilan militer. "Ini penting untuk akuntabilitas militer. Ketiadaan akuntabillitas yang makin memperburuk citra militer hari ini, melakukan banyak kekerasan seperti ke jurnalis dan orang di Papua," jelasnya.

Sementara Poenky menilai peradilan militer saat ini masih sarat dengan sebutan sarang impunitas dan Indonesia saat ini tengah menjadi sorotan soal pelanggaran HAM yang banyak melibatkan aparat.

"Efek peradilan militer kerap hanya memberikan sanksi ringan seperti hukuman indisipliner, meski ada pihak yang melakukan tindakan kriminal. Peradilan militer perlu diubah, aparat militer yang melakukan tindak kriminal harus diladili di pengadilan umum
karena peradilan militer sarang imunitas," tegasnya.

Dia menyayangkan revisi UU Peradilan Militer yang sempat mengemuka pada 2004 akhirnya kandas dan menguap hingga kini.

"Pada masa jabatan anggota DPR tahun 2004 – 2009 revisi UU Peradilan Militer sempat masuk Prolegnas, tetapi terganjal karena tentara tidak mau diperiksa polisi, jaksa juga tidak mau dari sipil," jelasnya.

Untuk itu, dia berharap pada 2013 TNI berdasarkan UU TNI mampu bersikap lebih profesional dan senantiasa siaga dalam menjaga intervensi asing atau ancaman kedaulatan. TNI juga dituntut melanjutkan reformasi TNI dengan tidak berbisnis, turut dalam politik praktis, serta menghormati HAM.

"Memang ada reformasi, tetapi tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Walaupun tidak ikut campur, tetapi di belakang layar masih ada, misalnya kelompok perwira tinggi untuk mendukung atau mencalonkan seorang gubernur ataupun lainnya," ucap Poenky.

Aspek lain yang perlu dipantau pada tahun 2013, kata Poenky, adalah penegakan hukum terhadap anggota TNI yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. "Ada banyak kasus-kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh aparat militer, ini yang tidak tersentuh," paparnya.

Menyikapi peradilan militer, anggota Komisi I DPR Helmy Fauzi setuju perlunya dilakukan perubahan. Namun, kata dia, hingga kini Undang-undang Peradilan Militer justru tak masuk dalam Prolegnas setelah sempat menjadi priotitas pada 2004.

"Peradilan militer merupakan perintah dari UU TNI. Sayangnya proses ini tersendat-sendat. Pada masa DPR sebelumnya tersendat dan akhirnya mati suri. Yang sekarang, tidak masuk prioritas. Ini harus segera menjadi priorotas dan merupakan bagian dari semangat reformasi," kata Helmy.

Tidak dibenahinya peradilan militer yang dinilai berpotensi melanggengkan lingkaran impunitas menurut Helmy dapat menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan reformasi TNI.
Jika tak kunjung dibahas, dikhawatirkan muncul penilaian adanya upaya memundurkan proses pencapaian yang telah dicapai saat reformasi. Helmy menambahkan, peradilan militer saat ini lebih mengedepankan subyek daripada peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Namun Helmy menggarisbawahi pentingnya turut dibenahi penyidikan yang dilakukan Polri maupun peradilan umum. Dalam kesempatan yang sama Helmy berharap pada 2013, TNI mampu lebih menancapkan perannya sebagai tentara profesional di bawah supremasi sipil. Pun demikian dengan modernisasi alutsista pertahanan yang dianggap telah lain. Terlebih 2013 merupakan tahun awal pembuktian kemandirian alutsista seiring telah disahkannya UU Industri Pertahanan.

Pergantian Panglima

Tahun 2013 juga dianggap sebagai tahun penting bagi TNI yang memiliki agenda pergantian Panglima TNI. Pada 25 Agustus 2013, Laksamana Agus Suhartono akan memasuki usia pensiun dan bersiap-siap untuk menyerahkan jabatan kepada penggantinya. Menariknya, sejak awal sudah digadang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, nama Pramono Edhie Wibowo yang kini berpangkat jenderal disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pengganti Pangllima TNI.

Meski tak sedikit pihak yang meragukan hal itu terjadi, mengingat usia Pramono sudah harus pensiun saat berumur 58 tahun, yakni pada 5 Mei 2013. KSAD dipandang sebagian pengamat dan anggota Komisi I merupakan jabatan prestisius akhir Pramono sepanjang kariernya di TNI.

Sosok Pramono memang menarik dicermati, mengingat ia masih memilliki kekerabatan yang dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pramono merupakan adik kandung dari Ibu Negara Ani Yudhoyono. Hubungan inilah yang dipandang berbagai pihak turut memuluskan karier Pramono sebelum akhirnya menjadi KSAD.

Helmy Fauzi mengingatkan, pergantian Panglima TNI seyogianya tidak terkait suatu peristiwa politik legislatif dan presiden. "Harus steril dari pertimbangan politik praktis. pergantian harus berdasarkan mekanisme yang telah ada, apakah memang panglima memang sudah saatnya pensiun," urai Helmy.

Mengenai rotasi matra sebagai pemegang jabatan nomor satu di TNI, dijawab Helmy memang tak diatur secara baku.

"Giliran tidak diatur, hanya menjadi tradisi yang mulai melembaga. Dari matra darat ke matra laut dan kemudian ke matra udara. Tidak ada aturan yang betul-betul mengharuskan," kata dia. Namun Helmy meyakini, sesuai aturan berlaku, masih ada beberapa calon panglima dari semua matra yang cocok menjadi Panglima TNI mendatang, termasuk KSAU atau mantan KSAU.

Keyakinan yang sama juga dilontarkan Poenky yang menilai jika Pramono dilantik menjadi panglima akan memperkuat dugaan dibangunnya dinasti kekuasaan, khususnya menghadapi 2014 mendatang.

Hal negatif lainnya adalah memunculkan ketidakadilan bagi matra lain yang berharap pergantian Panglima TNI sesuai dengan aturan rotasi. Haris Azhar berargumen RUU Kamnas akan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dari unsur TNI.