Tuntaskan Kasus HAM

Jakarta, Kompas – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu berkoordinasi aktif dan intensif dengan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Jangan sampai Komnas HAM meninggalkan berkas kasus.

Hal itu disampaikan Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar di Jakarta, Selasa (22/1). Menurut Haris, selama ini, Komnas HAM telah menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM, seperti kasus Talangsari, peristiwa Semanggi I dan II, peristiwa Mei 1998, kasus Trisakti, kasus penculikan dan penghilangan paksa, peristiwa 1965, dan penembakan misterius. Namun, berkas penyelidikan kasus-kasus itu belum ditindaklanjuti Kejaksaan Agung.

"Komnas HAM harus proaktif berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Berkas-berkas yang dikembalikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM perlu dilengkapi. Tindak lanjutnya perlu dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung," kata Haris.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Putri Kanesia menambahkan, Kontras telah menyampaikan surat dan bertemu dengan komisioner Komnas HAM. Terkait penyelidikan peristiwa 1965, Kejaksaan Agung sudah mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM. Namun, Komnas HAM belum menerima pengembalian berkas penyelidikan peristiwa 1965 tersebut.

Putri mengatakan, Komnas HAM berjanji menyurati Kejaksaan Agung dan bertemu jajaran Kejaksaan Agung untuk mendorong penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu.

Secara terpisah, komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, mengungkapkan, terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, Komnas HAM akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti penanganan kasus itu. Komnas HAM akan bertemu dengan Jaksa Agung untuk membicarakan penanganan kasus tersebut.

Bahkan, lanjut Pigai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya telah meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto untuk memperhatikan penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Diombang-ambingkan

Saat menerima keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu, antara lain orangtua kasus Semanggi I dan II, keluarga korban kasus Talangsari, dan peristiwa 1965-1966, di Komnas HAM, kemarin, Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak merasa kerap diombang-ambingkan secara politis. "Sampai sekarang belum ada pemberitahuan soal pengembalian berkas kasus 1965," kata Otto.

Kasus 1965-1966 disampaikan Otto sebagai contoh seringnya Komnas HAM diombang-ambingkan secara politis. Menurut Otto, hal ini karena Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang tidak dengan jelas memaparkan sampai di mana tugas Komnas HAM. "Kejaksaan selalu memperlakukan Komnas HAM sebagai penyidik, bukan penyelidik," kata Otto.

Sementara M Daud dari Kontras menilai tindakan Kejaksaan Agung itu sebagai bentuk penghinaan terhadap undang-undang. Alasannya, dalam UU No 26/2000 disebutkan, kejaksaan bisa meminta agar berkas dilengkapi terkait dengan data pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus, hal ini dilanggar.

Dalam kasus Trisakti, berkas dikembalikan dengan alasan telah diadakan pengadilan militer. Padahal, dalam kasus tersebut, dengan data yang berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM berat sudah terbukti, yaitu adanya perintah Panglima TNI.

Otto mengatakan, Komnas HAM mengajak semua pihak terkait mencari terobosan agar kasus-kasus yang telah berusia di atas 10 tahun ini bisa tuntas.

Asih Widodo, ayah Sigit (alm), korban peristiwa Semanggi I, mengatakan, ia akan terus berupaya dan berharap. Menurut dia, solusi hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya bisa didapat kalau ada kemauan politik yang jelas. Ia menyesalkan ketidakadilan yang terjadi.

"Orang bunuh orangutan saja dihukum 5 tahun, yang bunuh anak saya tidak dihukum," ujar Asih Widodo.

Hal senada dikatakan Bedjo Untung, korban peristiwa 1965. Ia mengatakan akan menanyakan kepada Kejaksaan Agung terkait kasusnya. Kalau pemerintah minta maaf, permintaan maaf itu harus ada konsekuensinya. "Ini semua terjadi karena tidak ada kemauan politik," katanya. (FER/EDN)