Kontras: Konflik Sumbawa Liberalisasi Kerusuhan

JAKARTA, PESATNEWS – Ketua Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menyatakan, konflik di Sumbawa, NTB, adalah bentuk liberalisasi kerusuhan yang dilakukan pemerintah. Hal ini didasarkan pada lemahnya penanganan konflik tidak hanya pada saat terjadi, tetapi juga lemahnya peran pemerintah saat sebelum dan setelah peristiwa.

"Jadi memang dibiarkan saja, pemerintah daerah dan polisi yang langsung bersentuhan tidak menangani dan mencoba menyelesaikan konflik," kata Haris saat dihubungi, Sabtu (26/1/2013).

Ia menyatakan, konflik di Sumbawa sendiri terjadi sebagai akumulasi pelbagai permasalahan sosial yang terjadi di daerah tersebut termasuk kesenjangan sosial, etnis dan agama. Akumulasi permasalahan seperti ini dapat meledak menjadi konflik hanya dengan pemicu kecil, bahkan kesalahpahaman.

Sikap pembiaran pemerintah yang dilakukan pemerintah daerah dan juga kepolisian nampak dalam cara menangani konflik yang terjadi. Polisi cenderung enggan menetapkan tersangka bahkan menjatuhkan sanksi atau hukuman penjara bagi para pelaku. Pemerintah daerah juga cenderung membiarkan ketegangan sosial saat konflik sudah mereda, bahkan menganggapnya tidak ada.

"Pemerintah tidak becus. Tidak ada upaya agar masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa menyimpan kecemburuan. Pola konflik seperti ini kan berulang," kata Haris seperti dilansir Tempo.

Ia membantah bahwa Kontras tergabung dengan tim advokasi masyarakat Sumbawa yang hendak menggugat pemerintah lantaran dianggap membiarkan kerusuhan pada 22 Januari lalu. Kontras masih fokus pada pengajuan rekomendasi yang dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri yang berisi evaluasi konflik sosial sepanjang 2012.

"Sebenarnya konflik Sumbawa sama dengan beberapa konflik sosial di 2012, konflik antar etnis yang dimulai dengan hal sepele seperti masalah cinta, pencurian kecil atau lainnya."

Kerusuhan Sumbawa meletup akibat isu sesat mengenai pemerkosaan seorang mahasiswi semester lima Universitas Samawa, Arniyati yang adalah warga Labuan Badas Sumbawa oleh seorang polisi asal Bali. Arniyati sendiri ternyata meninggal karena kecelakaan motor saat berboncengan dengan pacarnya yang adalah polisi, Brigadir I Gede Eka Swarjana.

Pada 19 Januari 2013, sekitar pukul 23.00 waktu setempat keduanya pulang dari tempat hiburan malam di kawasan pantai Batu Gong. Sekitar 15 kilometer dari Kota Sumbawa Besar, Arniyati dan Eka mengalami kecelakaan. Arniyati mengalami luka di bagian kepala, sedangkan Eka mengalami patah tulang iga sebelah kanan. Arniyati tidak tertolong dan meninggal meski sempat dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Sumbawa.

Berita meninggalnya Arniyati membuat sekelompok mahasiswa melancarkan ujuk rasa ke Polres Sumbawa. Mereka meminta kepolisian untuk mengusut kasus tersebut. Aksi tersebut diwarnai perusakan 35 rumah warga asal Bali, satu pura, satu bangunan hotel, pasar Seketeng, toko dan dua kios, serta dua pasar swalayan. Beberapa bangunan tersebut dibakar dan dijarah. Akibat aksi ini, sebanyak 200 warga diungsikan ke Markas Polres Sumbawa dan 300 orang di Markas Komando Distrik Militer Sumbawa.

Komnas HAM Bakal Selidiki Kerusuhan Sumbawa
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah membentuk tim penyelidik untuk mengumpulkan bukti dan fakta kerusuhan di Sumbawa. Tim penyelidik yang dipimpin Komisioner Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, Siti Nurlaela ini akan berangkat menuju Sumbawa pada Senin, 28 Januari 2013.

"Jumat kemarin kami menyiapkan berkas-berkas termasuk TOR penyelidikan," kata Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional HAM, Natalius Pigai saat dihubungi, Sabtu (26/1).

Keberangkatan Komnas HAM ke Sumbawa, menurut Pigai, karena diminta langsung oleh masyarakat Sumbawa untuk mengusut kerusuhan antar etnis tersebut. Komnas HAM sendiri mengklaim tidak hanya mengadvokasi pelanggaran HAM tetapi juga tindakan kriminal dan diskriminatif etnis. "Sumbawa itu kerusuhan antar etnis yang disebabkan hal sepele," kata dia.

Meski belum mau menyimpulkan karena belum ada bukti, Pigai menyatakan, Komnas HAM menduga telah terjadi pembiaran yang dilakukan pemerintah terutama aparat keamanan untuk mencegah dan mengendalikan konflik sosial di Sumbawa. Menurut dia, kerusuhan di Sumbawa seharusnya dapat diantisipasi secara dini oleh kepolisian sehingga isu sesat tidak menjadi pemicu konflik etnis yang sudah bertahun-tahun.

"Sudah sejak konflik 1980, etnis di Sumbawa berkonflik dan menurunkannya kepada generasi-generasi berikutnya hingga 2013," kata Pigai.

Adanya pemendaman konflik antar etnis di Sumbawa juga menunjukan lemahnya peran pemerintah untuk melindungi keamanan dan kehidupan masyarakat. Pemerintah dinilai tidak mampu untuk memperkuat kohesi sosial dan intregasi antar etnis dalam suatu wilayah.

Komnas HAM akan memeriksa detail peran polisi dalam kerusuhan tersebut. Berdasarkan informasi sementara, kerusuhan tersebut berawal dari tertutupnya polisi membuka kasus kematian seorang mahasiswi Sumbawa. Mahasiswi yang meninggal karena kecelakaan motor bersama pacarnya yang beretnis Bali justru berkembang menjadi isu pemerkosaan yang menyebabkan kematian. "Kalau ada pelanggaran HAM dari polisi, kami akan ajukan rekomendasi."

Kerusuhan Sumbawa meletup akibat isu sesat mengenai pemerkosaan seorang mahasiswi semester lima Universitas Samawa, Arniyati, warga Labuan Badas Sumbawa oleh seorang polisi asal Bali. Arniyati ternyata meninggal karena kecelakaan motor saat berboncengan dengan pacarnya, seorang polisi bernama I Gede Eka Swarjana pada 19 Januari 213 setelah menikmati hiburan malam di kawasan pantai Batu Gong.

Berita meninggalnya Arniyati membuat sekelompok mahasiswa melancarkan ujuk rasa ke Polres Sumbawa. Mereka meminta polisi mengusut kasus tersebut. Aksi tersebut diwarnai perusakan puluhan rumah, pura, dan hotel milik orang Bali. [tmp/tr]