Kontras Tak Setuju Rencana Pemerintah Atasi Kerusuhan

JAKARTA-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak rencana pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Keamanan Nasional pada akhir Januari ini.

Terlebih, kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Senin (28/1), rencana itu muncul karena banyaknya konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini, seperti kerusuhan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Pembuatan Inpres Kamnas lebih cenderung untuk merespons gagalnya tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini," katanya.

Menurut dia, berbagai situasi politik dan keamanan di Indonesia pada dua tahun terakhir ini menunjukkan situasi yang meresahkan, padahal idealnya situasi ini harus mendapat penanganan komprehensif dari negara dengan melihat penyebab sebenarnya.

Ia berpendapat bahwa Pemerintah harus melakukan penanganan secara komprehensif, memaksimalkan ruang koordinasi dan profesionalisme kerja dari masing-masing unit pemerintah untuk menghadapi gejolak di tengah masyarakat.

Kendati gejolak itu semakin tidak terjaminnya pelayanan publik, perlindungan hukum, keadilan sosial, dan pemenuhan hak-hak sipil, Haris menekankan bahwa situasi itu lebih dari persoalan keamanan belaka.

Dalam berbagai isu ketiadaan hak masyarakat sipil, kata dia, pendekatan negara kerap condong ke model penanganan keamanan belaka. Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar.

"Lihatlah bagaimana Pemerintah menangani konflik di Aceh, Poso, Papua, hingga Timor Timur juga selalu dimulai dengan hal-hal yang sifatnya eksesif," tuturnya.

Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Komprehensif dalam Penyelesaian Masalah Aceh, lanjut Haris, diikuti dengan operasi darurat militer besar-besaran.

Begitu pula, di Timor Timur melalui Keppres No. 107/1999 tentang Penetapan Keadaan Darurat Militer di Timor Timur, Poso dan yang tidak pernah diakui hingga kini, Papua.

Peristiwa kerusuhan terbaru di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Selasa (22/1) menjadi salah satu contoh mutakhir, yakni penangangan berorientasi keamanan, di tingkat pusat akan memunculkan penetapan Inpres Kamnas.

"Hal itu tidak sinkron dengan persoalan aktual yang menjadi ‘bom waktu’," kata Haris kepada Antara.

Dalam kasus Sumbawa, minimnya akses informasi, transparansi, dan tidak profesionalnya penangangan kasus kematian Arniyati menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menumpahkan rasa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan terhadap kelompok atau etnis tertentu. Hal ini didukung oleh minimnya kebijakan pemerintah setempat dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial.

Menurut dia, situasi di Sumbawa menegaskan bahwa konflik sosial dipicu oleh rasa ketiadakadilan yang dirasakan masyarakat akibat dari tidak profesionalnya kinerja aparat keamanan, polisi, dan aparat pemerintahan setempat.

Oleh karena itu, bagi KontraS tidak ada kondisi dan situasi yang mendesak bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari celah dalam menetapkan Instruksi Presiden tentang Keamanan Nasional pada tanggal 28 Januari 2013.

"Justru pemerintah harus menghentikan idenya menambah tumpang-tindih aturan sektor keamanan seperti Inpres Kamnas," katanya.

Ia memandang perlu Pemerintah segera melakukan evaluasi dan perbaiki kinerja, kebijakan keadilan, keterampilan, dan akuntabiitas aparat keamanan dan aparat daerah di berbagai daerah.

Kemendagri, menurut dia, bisa mengambil peran itu bersama dengan Mabes Polri, Komnas HAM, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), praktisi dari masyarakat sipil, dan komunitas akademik.

Khusus untuk situasi Sumbawa pada saat ini, tambah dia, Polda Nusa Tenggara Barat harus memberikan informasi yang jujur dan transparan mengenai kematian korban dan menindaklanjuti kasus kematian korban sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku.

"Pemerintah harus kembangkan kebijakan perlindungan dan jaminan hak setiap warga negara, bukan memberikan restriksi lewat aturan keamanan (lagi)," kata Haris.(*/hrb)