Kontras: Inpres Kamnas Cermin Kegagalan Pemerintah

Liputan6.com, Jakarta : Banyak kasus kekerasan yang berujung kerusuhan di sejumlah daerah membuat aparat keamanan kewalahan seperti kerusuhan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa waktu lalu.

Karena itu, pemerintah berencana mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Keamanan Nasional (Kamnas) untuk mengatasinya. Inpres ini sebagai bentuk penegasan aparat dalam menghadapi tindakan anarki yang dilakukan kelompok tertentu.

Namun, usulan inpres yang digagas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ini ditentang sejumlah LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Koordinator Kontras Haris Azhar, menyebut inpres tersebut lebih menunjukkan kegagalan polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah kasus kekerasan.

"Pembuatan Inpres Kamnas lebih cenderung untuk merespons gagalnya tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini," ujar Haris di Jakarta, Senin (28/1/2013).

Menurutnya berbagai situasi politik dan keamanan di Indonesia pada dua tahun terakhir ini menunjukkan situasi yang meresahkan. Padahal idealnya situasi ini harus mendapat penanganan komprehensif dari negara dengan melihat penyebab sebenarnya.

Haris berpendapat pemerintah harus melakukan penanganan secara komprehensif, memaksimalkan ruang koordinasi dan profesionalisme kerja dari masing-masing unit pemerintah untuk menghadapi gejolak di tengah masyarakat.

Kendati gejolak itu semakin tidak terjaminnya pelayanan publik, perlindungan hukum, keadilan sosial, dan pemenuhan hak-hak sipil, Haris menekankan bahwa situasi itu lebih dari persoalan keamanan belaka.

Dalam berbagai isu ketiadaan hak masyarakat sipil, lanjut Haris, pendekatan negara kerap condong ke model penanganan keamanan belaka. Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar.

"Lihatlah bagaimana Pemerintah menangani konflik di Aceh, Poso, Papua, hingga Timor Timur juga selalu dimulai dengan hal-hal yang sifatnya eksesif," tuturnya.

Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Komprehensif dalam Penyelesaian Masalah Aceh, lanjut Haris, diikuti dengan operasi darurat militer besar-besaran. Begitu pula, di Timor Timur melalui Keppres No. 107/1999 tentang Penetapan Keadaan Darurat Militer di Timor Timur, Poso dan yang tidak pernah diakui hingga kini, Papua.

Menurutnya, peristiwa kerusuhan terbaru di Sumbawa, NTB, Selasa 22 Januari lalu menjadi contoh mutakhir, yakni penangangan berorientasi keamanan, di tingkat pusat akan memunculkan penetapan Inpres Kamnas.

"Hal itu tidak sinkron dengan persoalan aktual yang menjadi ‘bom waktu’," kata Haris.

Dalam kasus Sumbawa, minimnya akses informasi, transparansi, dan tidak profesionalnya penangangan kasus kematian Arniyati menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menumpahkan rasa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan terhadap kelompok atau etnis tertentu. Hal ini didukung oleh minimnya kebijakan pemerintah setempat dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial.

Menurut dia, situasi di Sumbawa menegaskan bahwa konflik sosial dipicu oleh rasa ketiadakadilan yang dirasakan masyarakat akibat dari tidak profesionalnya kinerja aparat keamanan, polisi, dan aparat pemerintahan setempat.

Karena itu, Haris mengingatkan, bagi Kontras tidak ada kondisi dan situasi yang mendesak bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari celah dalam menetapkan Instruksi Presiden tentang Keamanan Nasional pada tanggal 28 Januari 2013.

"Justru pemerintah harus menghentikan idenya menambah tumpang-tindih aturan sektor keamanan seperti Inpres Kamnas," katanya.

Ia memandang perlu Pemerintah segera melakukan evaluasi dan perbaiki kinerja, kebijakan keadilan, keterampilan, dan akuntabiitas aparat keamanan dan aparat daerah di berbagai daerah. Kemendagri, menurutnya, bisa mengambil peran itu bersama dengan Mabes Polri, Komnas HAM, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), praktisi dari masyarakat sipil, dan komunitas akademik.

Khusus untuk situasi Sumbawa pada saat ini, tambah Haris, Polda Nusa Tenggara Barat harus memberikan informasi yang jujur dan transparan mengenai kematian korban dan menindaklanjuti kasus kematian korban sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku.

"Pemerintah harus kembangkan kebijakan perlindungan dan jaminan hak setiap warga negara, bukan memberikan restriksi lewat aturan keamanan (lagi)," kata Haris. (Ant/Adi)