Kontras Nilai Inpres Kamtibmas Tak Tepat

Gejolak di masyarakat terjadi karena tidak terjaminnya pelayanan publik, perlindungan hukum, keadilan sosial dan pemenuhan hak-hak sipil.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik pemerintah yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) karena dianggap tak konsisten dalam kebijakan keamanannya.

Menurut Koordinator Kontras Haris Azhar, Inpres itu muncul untuk merespon gagal tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan.

Situasi demikian, katanya, harusnya mendapat penanganan komprehensif dari negara dengan melihat penyebab sebenarnya. Terjadinya gejolak di masyarakat adalah karena merasa semakin tak terjamin oleh pelayanan publik, perlindungan hukum, keadilan sosial dan pemenuhan hak-hak sipil.

"Situasi ini lebih dari persoalan keamanan belaka," kata Haris Azhar di Jakarta, Senin (28/1).

Kontras menilai pemerintah selalu salah menanggapi dengan melihat isu ketiadaan hak masyarakat sipil harus diselesaikan dengan pendekatan negara yang kerap condong ke model penanganan keamanan belaka.

"Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar. Lihatlah penanganan konflik di Aceh, Poso, Papua hingga Timor Timur juga selalu dimulai dengan hal-hal yang sifatnya eksesif," kata Haris.

Hal senada disampaikan oleh anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Kusuma Sundari, yang menilai pemerintah, yang menerbitkan Inpres Kamtibmas, dianggap tak konsisten dalam kebijakan keamanannya.

Menurut Eva, terbitnya Inpres itu tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya bahwa keamanan terkendali dan negara akan menggunakan pendekatan kesejahteraan dalam mengatasi masalah keamanan.

Inpres juga dianggap tak sejalan dengan pernyataan presiden soal perlunya taat pada hukum dan amanat reformasi.

"Sepatutnya, pemerintah belajar pada Malaysia yang mencabut UU Internal Security bahkan saat menjelang Pemilu Raya yang diperkirakan Maret tahun ini," ujar Eva.

Dia melanjutkan bahwa sungguh disesalkan sebenarnya pemerintah sendiri yang menciptakan banyak bom waktu menjelang Pemilu.

"Selain Inpres Kamtibmas, ada kebijakan Redenominasi Rupiah, serta Kurikulum Baru 2013 dan lain-lain, yang potensial menyulut konflik," tandas Eva.