KontraS Tolak Inpres Kamnas

JAKARTA â?? Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menegaskan menolak rencana Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono membuat Instruksi Presiden (Inpres) tentang Keamanan Nasional akhir Januari ini.

"Apalagi, rencana ini muncul untuk merespon gagal tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar dalam siaran pers yang diterima JPNN, Senin (29/1).

Dijelaskan Haris, dalam berbagai isu ketiadaan hak masyarakat sipil, pendekatan negara kerap condong ke model penanganan keamanan belaka. Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar. Seperti di Aceh, Poso, Papua, hingga Timor Timur dulu. Bahkan, peristiwa kerusuhan terbaru di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (22/1), menjadi salah satu contoh mutakhir bahwa penangangan berorientasi keamanan. Sehingga di tingkat pusat akan memunculkan penetapan Inpres Kamnas.

"Hal ini tidak sinkron dengan persoalan aktual yang menjadi "bom waktu"," tegasnya.

Dalam kasus Sumbawa, kata Haris, minimanya akses informasi, transparansi dan tidak profesionalnya penangangan kasus kematian Arniyati, menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menumpahkan rasa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan terhadap kelompok atau etnis tertentu.

Hal ini didukung oleh minimnya kebijakan pemerintah setempat dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial. Situasi di Sumbawa itu, imbuh dia, menegaskan bahwa konflik sosial dipicu oleh rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, akibat dari tidak profesionalnya kinerja aparat keamanan, polisi dan aparat pemerintahan setempat.

"Oleh karenanya bagi KontraS tidak ada kondisi dan situasi yang mendesak bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari celah dalam menetapkan Inpres tentang Keamanan Nasional pada 28 Januari nanti," kata Haris.

Justru, lanjut Haris, pemerintah harus menghentikan idenya menambah tumpang tindih aturan sektor keamanan seperti Inpres Kamnas. Selain itu, dia menyatakan, harus segera evaluasi dan perbaiki kinerja, kebijakan keadilan, keterampilan dan akuntabiitas aparat keamanan dan aparat daerah di berbagai daerah.

Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri bisa mengambil peran ini bersama dengan Mabes Polri, Komnas HAM, Dewan Perwakilan Daerah, praktisi dari masyarakat sipil dan komunitas akademik.

"Khusus untuk situasi Sumbawa hari ini, Polda Nusa Tenggara Barat harus memberikan informasi yang jujur dan transparan mengenai kematian korban dan menindaklanjuti kasus kematian korban sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku," katanya.

Pemerintah harus mengembangkan kebijakan perlindungan dan jaminan hak setiap warga negara, bukan memberikan restriksi lewat aturan keamanan. (boy/jpnn)

KontraS Tolak Inpres Kamnas

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menegaskan menolak rencana Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono membuat Instruksi Presiden (Inpres) tentang Keamanan Nasional akhir Januari ini.

Apalagi, rencana ini muncul untuk merespon gagal tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini, kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar dalam siaran pers yang diterima JPNN, Senin (29/1).

Dijelaskan Haris, dalam berbagai isu ketiadaan hak masyarakat sipil, pendekatan negara kerap condong ke model penanganan keamanan belaka. Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar. Seperti di Aceh, Poso, Papua, hingga Timor Timur dulu. Bahkan, peristiwa kerusuhan terbaru di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (22/1), menjadi salah satu contoh mutakhir bahwa penangangan berorientasi keamanan. Sehingga di tingkat pusat akan memunculkan penetapan Inpres Kamnas.

Hal ini tidak sinkron dengan persoalan aktual yang menjadi "bom waktu", tegasnya.

Dalam kasus Sumbawa, kata Haris, minimanya akses informasi, transparansi dan tidak profesionalnya penangangan kasus kematian Arniyati, menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menumpahkan rasa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan terhadap kelompok atau etnis tertentu.

Hal ini didukung oleh minimnya kebijakan pemerintah setempat dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial. Situasi di Sumbawa itu, imbuh dia, menegaskan bahwa konflik sosial dipicu oleh rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, akibat dari tidak profesionalnya kinerja aparat keamanan, polisi dan aparat pemerintahan setempat.

Oleh karenanya bagi KontraS tidak ada kondisi dan situasi yang mendesak bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari celah dalam menetapkan Inpres tentang Keamanan Nasional pada 28 Januari nanti, kata Haris.

Justru, lanjut Haris, pemerintah harus menghentikan idenya menambah tumpang tindih aturan sektor keamanan seperti Inpres Kamnas. Selain itu, dia menyatakan, harus segera evaluasi dan perbaiki kinerja, kebijakan keadilan, keterampilan dan akuntabiitas aparat keamanan dan aparat daerah di berbagai daerah.

Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri bisa mengambil peran ini bersama dengan Mabes Polri, Komnas HAM, Dewan Perwakilan Daerah, praktisi dari masyarakat sipil dan komunitas akademik.

Khusus untuk situasi Sumbawa hari ini, Polda Nusa Tenggara Barat harus memberikan informasi yang jujur dan transparan mengenai kematian korban dan menindaklanjuti kasus kematian korban sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku, katanya.

Pemerintah harus mengembangkan kebijakan perlindungan dan jaminan hak setiap warga negara, bukan memberikan restriksi lewat aturan keamanan. (boy/jpnn)