Perlu Investigasi Eksternal

KETUA Badan Pekerja SETARA Institute, Hendardi mengusulkan perlunya membentuk suatu tim investigasi eksternal yang kredibel untuk mengusut pelaku penembakan empat orang tahanan di Lapas Cebongan, Sleman Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari.

Menurut Hendardi, pengusutan pelaku tidak bisa hanya diserahkan kepada aparat saja. ada dugaan kejadian itu dilakukan oleh oknum TNI. "Brutalitas anggota TNI tidak cukup hanya diserahkan penyidikannya pada internal TNI, apalagi kepolisian jelas tidak punya akses dan mentalitas untuk menyidik anggota TNI," kata Hendardi, Senin (25/3), menanggapi kasus penembakan empat orang tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.

Terkait maraknya tindak kekerasan aparat militer menjadi momentum untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. "Revisi UU Peradilan Militer sudah sangat mendesak untuk diwujudkan," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.

Menurut Haris, dalam kurun 2004 hingga 2013, terdapat 87 kasus tindak kekerasan yang melibatkan anggota militer. Kasus semacam itu terus berulang karena tidak pernah ada penghukuman yang jelas. "Semua pelaku kejahatan dan kekerasan itu proses hukumnya di pengadilan militer," katanya.

Haris mempertanyakan kebijakan untuk memproses semua anggota militer yang diduga melakukan pelanggaran di pengadilan militer. "Semua diproses di sana, dari adu ayam sampai maling. Semua ke sana. Padahal pelanggaran hukum yang dilakukan oknum militer tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang bersangkutan," katanya.

Dengan mekanisme itu, lanjut Haris, para pelaku tindak pidana dari kalangan militer pun tidak mendapat hukuman yang maksimal. "Mereka merasa di atas angin, tidak bisa dijangkau oleh hukum. Justru mereka terkesan kebal hukum," katanya.

Haris pun menyampaikan kekecewaanya lantaran revisi UU Peradilan Militer tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Revisi UU Peradilan Militer ini merupakan alat yang bisa menjerat tindak kesewenang-wenangan militer yang terjadi selama ini. "Revisi UU Peradilan Militer itu harus dijadikan agenda dari reformasi militer dan peradilan," katanya.

Menurut Haris, praktek peradilan militer sampai saat ini masih banyak menimbulkan kontroversi. Pasalnya, jika masih menggunakan UU Nomor 31 tahun 1997 maka anggota militer tidak akan bisa diseret ke pengadilan HAM, pengadilan korupsi dan pengadilan hukum lainnya.

Dampaknya, kata Haris, peradilan militer menjadi peradilan yang tertutup dari pengawasan publik. Padahal tindak pidana dilakukan terhadap publik.
Haris mencontohkan beberapa kasus yang sampai saat ini tak jelas ujungnya. Misalnya kasus Alas Tlogo dan penyiksaan di Papua yang videonya tersebar luas di Youtube. Jika revisi undang-undang ini tak segera disahkan, Kontras pesimis peradilan militer akan mampu mengungkap tuntas kasus-kasus yang melibatkan anggotanya.

"Terus terang saja Hakim peradilan militer itu maksimal bintang satu, bagaimana mungkin mengadili kasus yang membutuhkan pertanggungjawaban pejabat yang posisinya di atas hakim," katanya.

Ia menambahkan posisi peradilan militer yang berada dibawah binaan Markas Besar TNI di Cilangkap juga rawan dengan konflik kepentingan. Bahkan, Haris menuding, tidak masuknya revisi UU ini karena ada kepentingan militer yang enggan empertanggungjawabkan kesalahannya di muka publik. "Dengan tidak disahkannya RUU ini tentu yang paling diuntungkan adalah militerIni menjadi bukti adanya gerakan pro status quo dalam militer. Padahal, agenda revisi ini sudah ada sejak lima tahun silam," katanya.