UU Peradilan Militer Layak Direvisi

Koordinator KontraS, Haris Azhar menilai UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer layak direvisikarena banyakketentuan di dalamnya yangtak selaras dengan semangat reformasi di tubuh TNI. Misalnya, pasal 9 UU Peradilan Militer.

Pada intinya ketentuan itu mengatur yang berhak untuk diadili lewat peradilan militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI atau orang-orang yang dipersamakan dengan TNI. Akibatnya, ketentuan tersebut dianggap mengunci semua bentuk kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan anggota TNI seolah harus dibawa ke peradilan militer.

Padahal dalam kegiatan militer yang berlaku adalah sistem komando dan peradilan militer tak dapat membongkar garis komando itu. Haris mencontohkan sebuah kejahatan yang dilakukan secara sistematis melibatkan perwira berpangkat tinggi, maka tidak efektif dibawa ke peradilan militer. Pasalnya, hakim peradilan militer paling tinggi pangkatnya bintang satu. Oleh karenanya, Haris tak yakin jika majelis hakim berbintang satu itu dapat mengadili dengan efektif anggota TNI yang pangkatnya lebih tinggi.

Kemudian, dalam pengadilan militer, Haris melanjutkan, ada yang disebut atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Perpera). Menurutnya kedua jabatan itu memotong atau dapat membatasi upaya yang dilakukan terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum. Dengan cara menentukan apakah kasusnya dilanjutkan ke pengadilan atau tidak. Sehingga, jika ada anggota TNI yang melanggar hukum dan dirasa cukup dituntaskan lewat evaluasi secara internal saja maka kasusnya tak perlu berlanjut ke pengadilan.

Dari pantauannya, Haris melihat jika kasus pelanggaran hukum dibawa ke peradilan militer, hukuman yang dijatuhkan sangat ringan. Apalagi, tiap unit kesatuan di TNI punya POM sehingga terkesan eksklusif. Dan proses penyelidikan serta penyidikannya sangat dominan dilakukan oleh pihak di dalam institusi yang bersangkutan.

Contohnya, seorang Danjen Kopassus mengatakan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan anggotanya. Padahal, badan hukum untuk menyelesaikan kasus yang dilakukan anggotanya secara struktural berada di bawah Danjen tersebut. Oleh karenanya Haris tak yakin sebuah sistem hukum yang ada di dalam institusi militer bersifat independen. Apalagi di ranah tata negara atau politik Haris mengatakan lembaga yudikatif tak boleh berada dalam satu sistem implementasi. Sayangnya, hal tersebut yang terjadi dalam tubuh TNI.

Haris mengingatkan sejak tahun 2005-2006 pemerintah sempat membahas revisi UU Peradilan Militer. Namun, tahun 2007 presiden SBY memerintahkan agar pembahasan revisi tak dilanjutkan. Atas dasar itu Haris menyebut problem utama revisi UU Peradilan Militer ada di kemauan politik pemerintah dan DPR. Akibatnya, reformasi TNI saat ini seolah macet. “Di zaman pemerintahan SBY ini reformasi peradilan (militer,-red) cenderung tak berjalan,” kata dia dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Senin (22/4).

Ketidakseriusan pihak berwenang menjalankan reformasi TNI terutama revisi UU Peradilan Militer bagi Haris menjadi salah satu pemicu utama maraknya tindak kekerasan yang dilakukan anggota militer. Pasalnya, dengan sistem peradilan yang cenderung tak independen mengakibatkan minimnya efek jera bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran. Contohnya, belum genap sebulan kasus Cebongan, ada lagi anggota TNI yang melakukan kekerasan kepada masyarakat. Seperti pemukulan yang dilakukan anggota TNI dua hari lalu terhadap pekerja di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Selaras dengan revisi UU Peradilan Militer, dalam rangka reformasi TNI, Haris mengusulkan agar anggota TNI dipisahkan kegiatannya dengan masyarakat sipil. Misalnya, anggota militer beserta keluarganya ditempatkan dalam wilayah tersendiri yang merupakan basis pertahanan negara dari serangan pihak luar. Seperti di wilayah perbatasan. Dalam wilayah khusus itu, pemerintah wajib menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan. Seperti sarana umum, pendidikan, pengembangan teknologi militer dan lain sebagainya. Dengan begitu, anggota militer minim bersentuhan dengan masyarakat dan mampu memaksimalkan potensinya untuk melindungi negara.

Haris menekankan usulannya itu bukan tanpa alasan karena tindak kekerasan yang dilakukan TNI terhadap masyarakat sipil muncul akibat perbedaan signifikan antara pekerjaan yang dilakukan militer dengan masyarakat sipil. Contohnya, anggota TNI disiapkan untuk berperang, sementara tak satupun profesi masyarakat sipil yang ditujukan untuk berperang seperti militer.

Adanya perbedaan itu, ketika saling bergesekan maka anggota TNI melakukan tindakan yang tak semestinya dilakukan terhadap masyarakat sipil. Misalnya, ketika anggota TNI bersitegang dengan dengan masyarakat sipil, kemudian anggota TNI yang bersangkutan bersikap sebagaimana militer menghadapi musuh. Padahal, jika terjadi pelanggaran hukum, anggota TNI harus taat kepada aturan yang berlaku karena penegakan hukum masuk ke ranah aparat penegak hukum seperti Polri.

Tindak Kekerasan TNI
Pada kesempatan yang sama Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Yati Andriyani, mencatat dalam empat bulan terakhir terdapat 51 kasus tindak kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Bentuknya mulai dari pembunuhan, penyerangan, penembakan, intimidasi, perampasan dan penganiayaan. Para korbannya pun berasal dari lintas profesi dari jurnalis, petugas lapas bahkan polisi. “Dalam empat bulan terakhir terjadi tindak kekerasan maraton yang dilakukan anggota TNI,” tukasnya.

Melihat masifnya tindak kekerasan yang dilakukan, Yati berpendapat penyelesaiannya tak dapat dilakukan secara parsial tapi berkelanjutan dan berjangka panjang. Hal itu dapat dilakukan dengan menuntaskan reformasi di tubuh TNI dan revisi UU Peradilan Militer. Dari bermacam kasus kekerasan yang dilakukan, Yati menyebut anggota TNI unjuk kekuatan bukan pada tempatnya. Mengingat anggota TNI mendapat pelatihan militer, seharusnya keahlian itu digunakan dalam menghadapi ancaman militer dari luar, bukan untuk menyerang masyarakat sipil.