Kontras: Kekerasan oleh Oknum TNI Meningkat Signifikan

Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) rutin memantau soal kekerasan yang dilakukan institusi negara. Salah satunya kekerasan yang dilakukan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam catatan Kontras, baru empat bulan berjalan yakni sejak Januari hingga April 2013, sudah terjadi 51 kasus kekerasan oleh oknum TNI. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan dibandingkan dengan sepanjang tahun lalu yang tercatat sekitar 110 kasus.

Kasus kekerasan itu mulai dari kekerasan terhadap jurnalis pada 1 Januari 2013, kasus Cebongan, Magelang, dan yang baru-baru ini terjadi, penyerangan di Kantor PDIP Lenteng Agung.

Mengingat banyaknya kasus kekerasan oleh oknum TNI membuat pihak Kontras tergerak untuk mengingatkan seluruh warga negara Indonesia, termasuk TNI melalui data-data kekerasan oleh oknum TNI.

"Itu untuk reminder bagi kita semua, termasuk TNI. Makin lama makin sering anggota TNI melakukan kekerasan," ujar Koordinator Eksekutif Kontras, Haris Azhar ketika ditemui di Jakarta, Selasa (23/4).

Menurut Haris, yang menjadi persoalan adalah kehadiran TNI di tengah masyarakat. "Konsep pertahanan kita, terutama pada Angkatan Darat modelnya teritorial yang sampai ke kampung-kampung itu. Itu kan bertemu masyarakat, sedangkan mereka ini skill-nya skill perang. Kalau mereka bergesekan dengan masyarakat mereka tidak mungkin menempuh dialog karena mereka tidak punya kemampuan dialog yang besar," jelas Hari.

Hal itu terjadi karena sistem pertahanan di Indonesia yang belum direformasi. Haris mengatakan, seharusnya Komando Teritorial (Koter) diganti Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dan diterapkan dengan sesuai.

"Jadi dia (TNI) tidak masuk ke kampung-kampung melainkan ada di titik-titik tertentu yang menjadi tempat pertahanan di mana seharusnya TNI ditempatkan. Kalau sekarang kan di mana-mana ada anggota TNI, kantor TNI, dll," ujar Haris.

Reformasi dalam bidang pertahanan memang menjadi agenda penting pemerintah. Sayangnya, berbagai persoalan masih membelit jalan bagi perbaikan hukum yang adil di Indonesia. KontraS pun memiliki desakan-desakan terhadap pemerintah yang seyogyanya segera dilaksanakan.

"Perbaiki mekanisme hukum. Secara keorganisasian memang punya probem yaitu soal politik, Presiden dan DPR lah yang wilayahnya di sana. Kita juga menuntut keterbukaan pihak TNI yang memang cenderung tertutup. Menurut saya, ada multi-agent yang harusnya punya kontribusi dan semangat yang sama. Masalahnya kan DPR kita takut menghadapi TNI dan Presiden kita lebih memanjakan TNI," ujar Haris.

Apa yang terjadi selama empat bulan terakhir menurut Haris menunjukkan adanya peningkatan drastis dalam konteks kekerasan oleh oknum TNI. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran.

Tidak adanya hukuman setimpal bagi oknum pelaku juga dikhawatirkan akan membuat mereka lebih semena-mena menggunakan kekuasaannya. Amendemen dan reformasi terhadap UU Peradilan Militer mungkin menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.

"Banyak dari kasus-kasus itu hampir semuanya tidak terkomunikasikan dalam konteks pemenuhan rasa keadilan. Jadi kita khawatir ke depan kekerasan oleh anggota TNI makin tinggi. 51 kasus dalam empat bulan ini membuat kita khawatir kondisi ke depan apa yang dilakukan anggota TNI akan semakin buruk karena memang mereka tidak pernah merasakan efek jera," pungkas Haris.