Tentara Harus Hentikan Praktek Kekerasan Main Hakim Sendiri

Tentara Harus Hentikan Praktek Kekerasan Main Hakim Sendiri

Paska peristiwa Cebongan, yang belum genap satu bulan, Anggota TNI kembali melakukan praktek kekerasan, setidaknya pada 2 kasus yang sangat mencolok; pertama, penyiksaan yang mengakibatkan kematian seseorang di Magelang; kedua, pada peristiwa pemukulan dikantor DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Selengkapnya, dalam catatan KontraS, sejak Januari 2013 hingga April 2013, terjadi sejumlah kekerasan lain yang dilakukan anggota TNI; pertama, pada 1 Februari seorang anak bernama Fatir (1,5 tahun) meninggal di Makassar akibat peluru nyasar yang diduga dari senjata anggota TNI. Saat ini kasusnya tengah diproses di Denpom Kodam VII Wirabuana, Makassar dan Polsek Mamajang, Sulawesi. Kedua, peristiwa penyerangan Polres OKU pada 16 Maret 2013 . Ketiga, Peristiwa Cebongan pada 23 Maret, dimana terjadi penyerangan oleh Anggota Kopassus Group II, Menjangan, Kertasuro, mengakibatkan 4 orang meninggal, 8 orang luka – luka akibat pembunuhan dan penyiksaan. Keempat, pada 12 April, terjadi penganiyaan dan penyiksaan oleh 14 anggota TNI KODIM 0705 Magelang. Kekerasan ini mengakibatkan Wibowo (41 th), seorang tuna rungu, meninggal dunia. Terakhir, kelima, 20 April, terjadi pengancaman dan pemukulan oleh sekitar 10 anggota TNI Batalyon Zeni Konstruksi (Yon Zikon) terhadap dua anggota satgas dan dua sopir DPP PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. (lengkap lihat lampiran kekerasan TNI Januari- April 2013).

Bahkan, Sebelumnya, dipenghujung tahun lalu, pada 20 Desember 2012, terjadi penembakan terhadap 7 orang nelayan di perairan laut Pulau Papan, Raja Ampat, Papua, oleh Praka Ahmad Jumati, Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Waigama, Papua. Penembakan ini mengakibatkan empat orang meninggal, dan 2 orang luka tembak, selain itu, pada 16 Oktober 2012, terjadi penganiayaan oleh Letkol Robert Simanjutak, Kepala Dinas Personil Lanud Rusmin Durjadin, Riau.

KontraS mengecam rangkaian marathon tindak kekerasan yang dilakukan oleh berbagai anggota TNI dari sejumlah kesatuan, Kopassus, Zeni Konstruksi, pasukan teritorial (Kodam, Kodim serta Babinsa). Peristiwa-peristiwa ini menunjukan sejumlah hal; Pertama, praktek main hakim sendiri masih dominan dan menjadi pilihan tindakan oleh anggota TNI, hal ini semakin kuat jika ada dugaan pelanggaran hukum yang mengakibatkan anggota TNI menjadi korban. Hal ini menujukan bahwa anggota TNI merupakan warga negara ekslusif dan seolah berhak menempuh caranya sendiri mencari keadilan. Kedua, lebih gawatnya upaya melakukan pemenuhan keadilan dilakukan dengan cara “street justice” dan dilakukan dengan kekerasan (pembunuhan, penyiksaan, penyerangan).

KontraS prihatin bahwa dalam berbagai situasi kekerasan dan pelanggaran hukum terjadi bahkan hingga anggota TNI menjadi korban. Akan tetapi sikap balas dendam diluar proses hukum bukan merupakan sebuah cara yang bisa dibenarkan atau boleh dilakukan. Terlebih jika tindakan-tindakan tersebut juga dilakukan dengan cara-cara yang juga melanggar hukum .

Peristiwa diatas menunjukan pertama, telah terjadi abuse of power (penyalanggunaan kekuasan) berupa penggunan fasilitas negara (senjata), dan kekuatan terlatih untuk melakukan serangan atau kejahatan terhadap masyarakat sipil. kedua, muncul kecenderungan penerapan solidaritas dan show of power (penunjukan kekuasaan) yang tidak pada tempatnya. Ketiga, tidak efektifnya mekanisme kontrol dan komando di internal kesatuan TNI, keempat, minimnya efek jera anggota TNI dalam melakukan kekerasan.

Secara lebih luas, kami melihat ada 3 agenda yang penting dituntaskan kedepan, pertama, reformasi sistem pertahanan TNI, dimana masih membiarkan TNI terutama angkatan darat berada ditengah masyarakat sehingga menyebabkan gesekan dengan masyarakat dan Polisi. Kedua, soal peradilan militer yang masih menyediakan perangkat ekslusif bagi anggota TNI untuk tidak dihukum secara sama dengan masyarakat lainnya. Ketiga, reformasi Polisi yang tidak jalan bahkan sebaliknya menjadikan mereka sebagai penikmat kekuasaan baru. Hal ini mengakibatkan kecemburuan tidak hanya dimasyarakat tapi juga di kalangan militer.

KontraS merekomendasikan agar; perlu dilakukan agenda penuntasan reformasi sektor keamanan (TNI dan Polri) terutama dalam soal sistem pertahanan, pembaharuan alutsista yang bebas korupsi dan penegakan hukum yang tidak diskriminatif. Kesempatan ini bisa dimulai dengan munculnya berbagai kasus diatas, ditambah dengan segera digantinya Panglima TNI dan Kapolri. Meskipun kecewa, kami juga menganggap bahwa tanggung jawab ini juga diemban oleh DPR RI.

 

Demikian. Terima kasih.
Jakarta, 20 April 2013

Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, Koordinator

 

Lampiran Kekerasan TNI Januari – April 2013 [unduh]