Peradilan militer dinilai belum cerminkan keadilan

Yogyakarta – Peradilan militer di Indonesia dinilai belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan karena masih menangani kasus pidana umum oleh unsur militer yang seharusnya diadili di peradilan umum.

"Peradilan Militer digunakan kalau persoalannya berkaitan dengan disiplin tugas militer, namun apabila sudah menyentuh pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum seperti masyarakat lainnya," kata Koordinator Eksekutif Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar dalam diskusi publik untuk  memperingati "Indonesian Court Monitoring (ICM)" di Yogyakarta, Selasa.

Praktik peradilan yang mengkhususkan unsur militer, kata dia, bertolak belakang dengan prinsip dasar persamaan di depan hukum sehingga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat
Menurut dia, antara pidana umum dan pidana militer tidak bisa digabungkan sebab keduanya memiliki yurisdiksi yang berbeda

"Seperti dalam kasus LP Cebongan yang melibatkan unsur militer , menurut saya sudah masuk dalam ranah tindak pidana umum bukan pidana militer sebab dalam melakukan pidana tersebut tentunya tidak ada surat tugasnya," katanya.

Fungsi peradilan militer yang hingga saat ini diberlakukan, kata dia, masih terfokus pada subjek hukum sehingga perkara apapun yang dilakukan oleh kalangan militer sesuai ketentuan tersebut, pada akhirnya harus diadili di peradilan militer.

Padahal, kata dia, peradilan militer di Indonesia yang dilandasi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tersebut memungkinkan ada kontrol dari pihak panglima TNI, dalam hal itu panglima TNI juga aktif menentukan keberlanjutan sebuah perkara.

"Posisi panglima TNI sangat dominan dalam menentukan proses peradilan karena juga berposisi sebagai perwira penyerah perkara (Papera)," katanya.

Menurut dia, UU Nomor 31 tersebut mengandung sejumlah kelemahan dalam konteks demokratisasi di Indonesia karena UU tersebut bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi, peradilan yang jujur serta tidak kontekstual dalam reformasi sistem peradilan dan keamanan.   

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Supriyadi dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa sistem peradilan militer tidak akan mungkin bisa dirubah tanpa terlebih dulu ada upaya revisi UU Nomor 31 tersebut.

Dalam pasal 9 UU Nomor 31 itu disebutkan bahwa pengedilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit TNI.

"Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut bisa mencakup tindak pidana militer maupun tindak pidana umum," katanya.

Bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh militer itu, tambah dia, sepenuhnya menjadi kewenangan peradilan militer untuk mengadilinya.