Protes atas penembakan, penangkapan dan represi terhadap aksi damai 1 Mei di Papua
Kami mengecam pelarangan penyelenggaraan demonstrasi memperingati 50 tahun penyerahan administrasi West New Guinea(sekarang Papua) dari UNTEA ke Indonesia, pada 1 Mei 2013 lalu oleh Polda Papua dan Gubernur Papua. Pelarangan ini telah melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 1945 dan UU 12/2005 tentang Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 19 (hak atas kebebasan berpendapat) dan pasal 21 (hak berkumpul).
Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua dan memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan Negara, bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.
Pada tanggal 30 April, di Distrik Aimas Kabupaten Sorong,rencana kegiatan perayaan 1 Mei di depan rumah salah seorang warga dengan berdoa dihentikan dengan tembakan, lebih kurang dari jarak 20M, oleh satuanaparat berkendaraan Avansa dan L200. Tindakan inilah yang memicu kemarahan warga, hingga mendatangi kendaraan tersebut. Di saat itu pula tembakan memberondong warga selama 20 menit yang menyebabkan kematian 2 warga dan 8 lainnya ditangkap.
Pada 1 Mei, di Jayapura, aksi damai dan rencana doa di MakamTheys digagalkan aparat, sempat terjadi upaya penangkapan, namun berhasil melarikan diri. Di Biak, satu orang dikabarkan ditembak karena mengibarkan bendera bintang kejora di depan kantor Diklat Kab. Biak Numfor. Di Timika setidaknya 15 orang ditangkap karena aksi pengibaran bendera.
Korban dari pelarangan aksi damai 1 Mei yang bermuara pada tindakan represi dan teror tersebut adalah:
Berdasarkan situasi di atas, kami, dari berbagai elemen prosolidaritas dan solusi damai Papua, menyatakan sikap PROTES terhadap berbagaitindakan pemerintah dan aparat keamanan yang sudah melanggar hak-hak demokratik rakyat Papua yang paling mendasar: berkumpul dan berekspresi yang sudah dijamin oleh UUD 1945 dan UU 12/2005.
Pengibaran bendera yang dijadikan dalih bagi pelarangan demonstrasi sesungguhnya tidak beralasan karena represi dan penembakan yang dilakukan pada acara peringatan 1 Mei tidak melulu terkait bendera. Kambing hitambintang kejora adalah politik pemerintah SBY yang menurut kami paranoid dananti demokrasi. Seperti yang harus kita ingat, mantan Presiden Indonesia Gusdur,pada 1 Januari tahun 2000, justru memberikan hak rakyat Papua untuk mengibarkan bendera bintang kejora sebagai ekspresi kebudayaan masyarakat.
Perhatian dan pengecaman terhadap represi,penangkapan dan respon berlebihan aparat keamanan terhadap persiapan dan respon masyarakat sejak 30 April menuju 1 Mei juga telah dikeluarkan oleh KomisionerHAM PBB, Navi Pillay, pada Kamis (2/5) lalu. Ia mengatakan sejak bulan Mei 2012, PBB telah menerima 26
laporan pelanggaran HAM, termasuk 45 pembunuhan dan 27 kasus penyiksaan. HukumHAM Internasional meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi yang adil, cepat, terhadap berbagai pembunuhan dan mengadili para pelakunya.
Berbagai tindakan kekerasan Negara ini sudah pasti akan semakin merugikan proses dan kemungkinan pembangunan solusi damaibagi konflik di Papua, ditengah-tengah sodoran pemerintah pusat atas Otonomi Plus.
Selama tidak ada jaminan atas hak demokratik rakyat di Papua untuk berkumpul dan berekspresi, selama itu pula berbagai kebijakan baru dari pemerintahan pusat tidak bisa menjadi penyelesaian dan hanya menguntungkan parapenguasa.
Dalam kesempatan ini kami menyatakan agar:
Jakarta,4 Mei 2013
National Papua Solidarity (NAPAS), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan(KONTRAS) , Sekretariat Bersama (SEKBER Buruh), Politik Rakyat, Perempuan Mahardhika, Forum Mahasiswa Demokrasi (FORMAD), KPO-Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), Yayasan Pusaka