15 Tahun Tragedi Mei: Nihil Penegakan Hukum

15 Tahun Tragedi Mei: Nihil Penegakan Hukum

Hari ini tepat 15 tahun sudah Tragedi Mei (13-15 Mei 1998) berlalu dari ingatan kita. Tragedi Mei 1998 merupakan sebuah tragedi yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan reformasi Indonesia menuju era demokrasi. Namun sayangnya penuntasan terhadap tragedi Mei masih jalan di tempat. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Tragedi Mei 1998 yang diawali dengan aksi demontrasi mahasiswa dan masyarakat untuk menuntut lengsernya Soeharto dan lahirnya reformasi telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa akibat penembakan yang dilakukan aparat pada tanggal 12 Mei 1998. Situasi semakin memburuk setelah keesokan harinya, yaitu sepanjang 13 – 15 Mei 1998 telah terjadi kerusuhan, pembakaran dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa di berbagai daerah, termasuk di Ibukota. Peristiwa ini mengakibatkan ratusan orang tak berdosa kembali menjadi korban.

Mall Klender adalah salah satu saksi bisu terjadinya Tragedi Mei 1998. Pada saat itu, ratusan orang yang tinggal maupun tengah lewat di sekitar Mall tersebut dikonsentrasikan untuk masuk ke dalam Mall. Tak lama berselang, Mall dikunci dari luar oleh orang tak dikenal tersebut diikuti dengan pembakaran terhadap bangunan gedung tersebut. Melihat kepulan asap yang sudah membumbung tinggi membuat kepanikan dirasakan ratusan orang yang terjebak di dalamnya. Mereka yang keluarganya terperangkap di dalam Mall tidak dapat melakukan apapun selain menyaksikan anggota keluarganya satu persatu dilalap api di depan mata kepala mereka sendiri. Sementara itu, perempuan Tionghoa menjadi sasaran kekerasan dan pemerkosaan, hingga terjadi eksodus besar-besaran. Di tengah situasi tersebut aparat keamanan justru lumpuh, tak mampu memberikan perlindungan dan keamanan. Kini, para korban Tragedi Mei 1998 telah dimakamkan di sejumlah tempat seperti TPU Pondok Rangon, Waradas dan sebagainya.

Terhadap tragedi ini, sudah ada dua rekomendasi dari lembaga Negara yang belum direalisasikan. Pertama, rekomendasi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Kedua, hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menemukan adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dalam tragedi Mei 1998. Hasil penyelidikan Komnas HAM sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2003, namun Jaksa Agung hingga kini masih belum menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan.

Terhambatnya proses hukum tragedi Mei 1998 di tangan Jaksa Agung membawa preseden buruk bagi penegakan HAM di tanah air, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan dan keberanian secara politik dari Presiden dan DPR untuk mengawal dan memastikan berjalannya proses hukum. Sikap Jaksa Agung yang menolak melakukan penyidikan atas tragedi Mei 1998 dengan alasan masih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan alasan yang terus-menerus disampaikan oleh Jaksa Agung dari periode 2003 – sekarang.

Mendasarkan pada hal tersebut, kami mendesak :

  1. Presiden RI agar segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan memberikan instruksi kepada Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan atas Tragedi Mei
  2. Jaksa Agung harus segera melakukan penyidikan atas Tragedi Mei
  3. Komisi III DPR harus mengawal dan memastikan berjalannya proses penyidikan oleh Jaksa Agung atas peristiwa Tragedi Mei
  4. Pemerintah untuk membangun monumen di kuburan massal Pondok Rangon sebagai situs sejarah dan sebagai bentuk pengakuan Negara atas kesalahan negara yang terjadi di masa lalu

 

Jakarta, 13 Mei 2013

Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Tragedi Mei 1998
Forum Komunikasi Keluarga Korban Mei ‘98
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSAM)
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)