Dilarang Demo, Aktivis Laporkan Polda Papua ke Ombudsman

Sejumlah aktivis asal Papua yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Papua (Napas) didampingi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Selasa (14/5/2013) mengadukan dugaan pelanggaran Kapolda Papua kepada Ombudsman. Pengaduan ini terkait pelarangan aksi damai pada 1 dan 13 Mei 2013 oleh Kapolda Papua.

Selain itu, aparat kepolisian seperti Brimob, Dalmas Polresta dan Polda Papua juga melakukan pembubaran paksa terhadap aksi damai yang dilakukan Solidaritas Peduli Penegakan HAM (SPP HAM), pada 13 Mei 2013 di Jayapura, Papua. Akibatnya berujung pada penangkapan 4 orang peserta aksi dan penyiksaan seorang Mahasiswa dari Universitas Cendrawasih Jayapura.

"Kami datang ke sini dalam rangka mengadukan Kapolda Papua Kombes Pol Yakobus Marjuki yang tidak mau mengeluarkan izin terhadap gerakan sipil yang dilakukan teman-teman dan masyarakat di Papua. Paling tidak selama menjelang 1 Mei 2013," ujar Kordinator Napas Zely Ariane kepada Liputan6.com di Kantor Ombudsman, Jakarta, Selasa (14/5/2013).

Padahal, lanjut Zely, aksi damai SPP HAM ini bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas tewasnya 3 warga sipil di Aimas Kabupaten Sorong dan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil di Sorong, Biak, Mimika dan Jayapura pada 30 April dan 1 Mei 2013.

Menurut Zely, penolakan tersebut mengakibatkan setidaknya 32 orang ditahan sejak 2 minggu belakangan. Mereka mayoritas dikenai pasal makar. Penolakan ini menurutnya tidak beralasan, karena penyelenggaraan aksi melalui prosedur kepada pihak yang berwajib.

"Menurut kami penolakan itu tidak beralasan. Misalnya karena oragnisasi itu tidak terdaftar di Kasbang. Sementara yang melakukan aksi-aksi ini bukan organisasi, tapi solidaritas atau komite aksi. Di manapun aksi seperti ini tidak masalah, asalkan sebelum aksi memberitahukan kepada kepolisian," tegasnya.

Patah Tangan

Ia berharap ada tindak lanjut dari Ombudsman, minimal sorotan terhadap tindakan aparat terhadap pelarangan itu sendiri dan tindakan di lapangan. "Itu kita bawakan data-datanya, misalnya saat penangkapan itu terjadi pemukulan, kekerasan, ada yang patah tangan dan tindakan tak lazim lainya," kata Agus.

Sementara empat nama yang ditahan dan seorang yang disiksa antara lain Victor Yeimo (30) (penanggung jawab aksi), Marthen Manggaprouw (30) (penanggung jawab aksi), Yongky Ulimpa (23) Mahasiswa Uncen (peserta aksi), Elly Kobak (17) (peserta aksi) dan Markus Giban Mahasiwa Uncen (19) yang dipukul dengan popor senjata dan patah tangan kiri sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura.

Umumnya mereka dikenakan Pasal 106, 107, dan 110 KUHP, dengan alasan seperti pengibaran bendera. Namun, 32 orang ini semuanya tidak melakukan pengibaran bendera. "Sehingga soal pasal masih bisa diperdebatkan. Mereka sekarang ini terpisah di Lapas, jadi aneh, tidak didampingi pengacara, langsung ditangkap, langsung dimasukkan ke Lapas," jelas Agus.

Khusus untuk yang kasus di Sorong, lanjut dia, ada saksi seorang pendeta, yang melihat kejadian aksi ini langsung. Namun saksi tersebut ketakutan karena ada intimidasi dari kepolisian. Setelah melapor ke Ombudsman, rencananya mereka akan mengadukan hal serupa ke Kompolnas dan Komnas HAM.