SBY Harus Keluarkan Keppres

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali didesak segera mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan memberikan instruksi kepada Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan atas Tragedi Mei 1998. Desakan itu disampaikan mengingat selama ini penuntasan terhadap kasus tersebut masih jalan di tempat.

Menurut sejumlah aktivis pegiat HAM dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, seperti Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Tragedi Mei 1998, Forum Komunikasi Keluarga Korban Mei ’98, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSAM), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), penegakan hukum dan HAM di Indonesia masih rapuh karena belum adanya Keppres dimaksud.

Haris Azhar dari KontraS mengatakan, sikap Jaksa Agung yang menolak melakukan penyidikan atas tragedi Mei 1998 dengan alasan masih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan alasan yang terus-menerus disampaikan oleh Jaksa Agung dari periode 2003 hingga sekarang.

"Terhambatnya proses hukum tragedi Mei 1998 di tangan Jaksa Agung membawa preseden buruk bagi penegakan HAM di tanah air, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan dan keberanian secara politik dari Presiden dan DPR untuk mengawal dan memastikan berjalannya proses hukum," ujar Haris, Senin (13/5).

Padahal, sudah ada dua rekomendasi dari lembaga negara yang belum direalisasikan terkait kasus ini. Pertama, rekomendasi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Kedua, hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam tragedi Mei 1998.

Senin kemarin tepat 15 tahun Tragedi Mei 1988. Peristiwa itu merupakan sebuah tragedi yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan reformasi Indonesia menuju era demokrasi.

Oleh sebab itu, Haris pun mendesak Komisi III DPR mengawal dan memastikan berjalannya proses penyidikan oleh Jaksa Agung atas peristiwa tersebut.

Tragedi Mei 1998, yang diawali dengan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat untuk menuntut lengsernya Soeharto dan lahirnya reformasi, telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa akibat penembakan yang dilakukan aparat pada tanggal 12 Mei 1998.

Situasi semakin memburuk setelah keesokan harinya, yaitu sepanjang 13 hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan, pembakaran dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa di berbagai daerah, termasuk di Ibukota. Peristiwa ini mengakibatkan ratusan orang tak berdosa kembali menjadi korban.

Mal Klender adalah salah satu saksi bisu terjadinya Tragedi Mei 1998. Pada saat itu, ratusan orang yang tinggal maupun tengah lewat di sekitar mal tersebut dikonsentrasikan untuk masuk ke dalam mal. Tak lama berselang, mal dikunci dari luar oleh orang tak dikenal tersebut diikuti dengan pembakaran terhadap bangunan gedung tersebut.

Melihat kepulan asap yang sudah membumbung tinggi membuat kepanikan dirasakan ratusan orang yang terjebak di dalamnya. Mereka yang keluarganya terperangkap di dalam mal tidak dapat melakukan apapun selain menyaksikan anggota keluarganya satu persatu dilalap api di depan mata kepala mereka sendiri.