KontraS Sinyalir Ada Pengaburan Fakta Proses Hukum Cebongan

Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban (KontraS) menilai terjadi pengaburan proses hukum kasus pembantaian di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dilakukan sekelompok oknum anggota Kopassus.

Penilaian tersebut disampaikan Koordinator Eksekutif Nasional KontraS, Haris Azhar di kantornya bilangan Jakarta Pusat, Selasa, (21/5). Menurutnya, terjadi pengaburan karena proses hukumnya tidak ada perkembangan signifikan.

Haris mengatakan, penilaian itu disampaikan karena KontraS sudah memantau dan menginvestigasi proses hukum kasus tersebut selama sebulan, mendampingi korban, dan memantau proses hukum setelah Tim Sembilan dibentuk tim AD yang menemukan 11 oknum anggota Kopasus.

"Hari ini, kami ingin berikan catatan baik yang sudah dilakukan TNI AD, LPSK, dan Kepolisian. Pertama, yang ingin kami kritisi, kami anggap proses hukum yang dilakukan tak informartif, partisipatif, dan berpotensi pengaburan dalam fakta di Cebongan," ungkapnya.

Hal ini, kata Haris, terbukti dari proses hukum tetap terpisah dan tidak saling menguatkan di antara pihak TNI dan Polri. Pada bagian TNI tidak ada perkembangan signifikan. Fakta yang diolah tidak berubah dari temuan kunjungan ke markas group II Kopassus, yaitu 11 pelaku.

"Patut diduga, proses beberapa minggu hanya upaya memasukan keterangan sejumlah korban ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kami mempertanyakan apakah saksi-saksi yang dipanggil, termasuk para komandan TNI, dan apakah pihak kepolisian mengetahui intimidasi dari Kopassus sebelum peristiwa Cebongan?" cetusnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi KontraS, Yati Andriani menyebutkan fakta lain di kepolisian, di mana tidak ada tindakan hukum dari kepolisian yang terbuka atas kegagalan Polda DIY dalam mencegah terjadinya eksekusi terhadap 4 tahanan. Hal ini mengindikasikan pihak Polri berupaya cuci tangan atas peristiwa pembunuhan ini. "Setelah kami mengadukan ke Kompolnas, kami kecewa, karena terlalu mudah menyimpulkan dan hanya mengkonfirmasi pihak kepolisian. Kompolnas telah menjadi instrumen menutupi pertanggungjawaban Polda Yogyakarta," nilainya.

Pemindahan para terdakwa ke Lapas bukan dalam rangka untuk melindungi para terdakwa, tapi justru memudahkan si pelaku untuk mengeksekusi pembunuhan di Lapas. "Dalam hal ini, kami sudah melaporkan ke Kompolnas. Tapi kami cukup kecewa tindak lanjut Kompolnas hanya meminta klaraifikasi dari Polda DIY dan mudah menyimpulkan menjadi tanggungawab Polda. Kami kecewa, karena tidak cukup hanya mengkonfirmasi," ucapnya.

Pihaknya juga menyayangkan sejumlah isntitusi yang tidak koordniatif dalam bekerja, pertama pihak kepolisian yang tidak jelas mengenai informasi penyerahan berkas penyelidikan awal sebelum penyidikan dilimpahkan ke penyidik TNI.

Kedua, lanjut Yati, LPSK yang sampai saat ini belum memberikan jawaban atar permohonan perlindungan keluarga korban. LPSK hanya memberikan perlindungan terhadap saksi di Lapas. "Ketiga peran LPSK yang tidak informatif dalam menjamin keamnana para saksi dalam memberikan keterangan."

"Keempat kami prihatin dengan perlakuan Polda DIY yang menolak memberikan jaminan sosial kepada keluarga Juan Mambait yang dijamin dalam PP 42 Tahun 2010 tentang Hak-hak Anggota Keplisian RI," pungkasnya.(IS)