Kontras Minta Polisi Tak Gegabah Tangani Terorisme di Poso

Jakarta : Seorang terduga terorisme, Nudin alias Ahmad, tewas ditembak mati oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Poso, Sulawesi Tengah, Senin 10 Juni 2013 lalu. Sebelum ditembak, Nurdin juga diduga ditabrak oleh mobil aparat.

Tindakan represif aparat itu menimbulkan reaksi masyarakat Poso Kota. Warga yang marah memblokade jalan raya di jalur trans Sulawesi, tidak jauh dari Markas Polres Poso. Warga melempari polisi dengan batu yang dibalas tembakan gas air mata.

Lembaga Kontras menyayangkan proses penegakan hukum polisi dalam menangani kasus dugaan terorisme di Poso yang menimbulkan kepanikan sosial.

"Informasi kejadian yang dihimpun Kontras menyebutkan korban, Ahmad, jatuh setelah ditabrak sebuah mobil Kijang Innova yang diduga dikendarai oleh tim Densus 88. Setelah terjatuh, korban berusaha lari ke arah Gang Nusa Indah, Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota. Pada saat itulah korban meninggal dunia setelah diberondong tembakan oleh tim Densus 88 Anti teror. Saksi di lokasi peristiwa menemukan 7 selongsong peluru yang diduga digunakan oleh Densus 88 menembak korban.

"Kami menilai bahwa tindakan Polisi di Poso dalam penangkapan Ahmad cukup provokatif, memunculkan amuk sebagian massa di kota Poso," kata Koordinator Kontras Haris Azhar melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (12/6/2013).

Selain itu, Kami mempertanyakan urgensi penabrakan dan penembakan terhadap Ahmad dalam operasi Polisi paska bom bunuh diri.

“Apakah Ahmad dalam posisi mengancam jiwa seseorang?” imbuh Haris.

Ia menambahkan penggunaan senjata api hanya bisa dilakukan oleh polisi kepada seseorang (seperti Ahmad) pada saat adanya ancaman jiwa seketika, baik terhadap dirinya ataupun orang lain.

Haris menegaskan pihaknya mendapat banyak informasi bahwa dugaan tindakan tidak profesional itu kerap dilakukan polisi, khususnya di Poso. Desember 2012 lalu, polisi melakukan kekerasan, penembakan dan penyiksaan terhadap sejumlah orang yang diduga teroris.

"Kami khawatir tindakan polisi ini hanya menumbuh-kembangkan ketegangan di Poso paskakonflik beberapa tahun lalu. Sebaliknya, pihak Kepolisian gagal dalam membangun kepercayaan warga di Poso untuk terlibat secara aktif dalam proses perang melawan terorisme," jelas Haris.

Ia mengingatkan kekecewaan warga yang diapresiasikan dengan membuat portal di jalan merupakan hal yang sering terjadi di Poso setelah proses penindakan represif yang dilakukan polisi.

Aparat Sering Bertindak Represif

Dalam catatan KontraS sejak medio 2012 hingga saat ini sudah terdapat berbagai tindakan terorisme, penangkapan, dan berbagai kekerasan antara pihak teroris dan polisi. Hal ini menunjukan bahwa Poso semakin menjadi daerah kekerasan terorisme dan operasi counter terorisme-nya.

"Kami mendukung operasi penegakan hukum atas tindak terorisme, akan tetapi kami meminta agar operasi tersebut memperhatikan keselamatan jiwa warga sipil dan harus dilakukan dengan prosedur yang tepat. Juga penting adalah memahami psikologis warga Poso sebagai masyarakat paska konflik," tegas Haris.

Karena itu, pihaknya mendesak kepolisian bertindak lebih professional dengan mengajak segala elemen di wilayah Poso dalam perang melawan terorisme.

"Penting juga bagi pihak kepolisian untuk mengedepankan akutanbilitasnya dalam menjamin pelaksanaan operasi penindakan yang mengutamakan penerapan prinsip-prinsip HAM," tukas Haris.