Warga Syiah Sampang Menagih Janji Presiden SBY

Komunitas Syiah di Sampang menagih janji Presiden SBYyang menyatakan akanmenuntaskan masalah yang dihadapi komunitas Syiah pasca penyerangan yang dilakukan oleh kelompok tertentu pada pertengahan tahun lalu. Untuk menagih janji itu, sepuluh warga Syiah di Sampang yang menjadi korban melakukan aksi mengendarai sepeda dari Surabaya sampai Jakarta.

Dalam melakukan aksinya itu para korban menempuh jalan sepanjang 850 kilometer dan memakan waktu lebih dari dua pekan. Menurut salah peserta aksi, Rosyid, aksi mengendarai sepeda itu dilakukan karena pemerintah dinilai tak kunjung memperhatikan para korban.

Rosyid mengatakan saat ini para korban masih ditempatkan di GOR Sampang dengan kondisi yang memperihatinkan. Misalnya, bantuan yang sempat diberikan pemerintah kepada para korban seperti makanan, air bersih dan pendidikan untuk anak-anak sekarang sudah diputus. Kondisi itu menurut Rosyid membuat para korban semakin terdorong untuk kembali ke kampung halaman mereka di desa Nangkernang dan Blu’uran, Sampang.

Pasalnya, dengan kembali ke kampung, mereka dapat dengan mudah menanam bahan makanan seperti singkong di kebun mereka. Begitu pula dengan air bersih yang tergolong mudah didapat serta anak-anak bisa mendapat pendidikan dan bermain dengan bebas. “Presiden pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah kami. Tapi sampai saat ini belum ada penyelesaian,” kata Rosyid dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Senin (17/6).

Selain menuntut dikembalikan ke kampung halaman, Rosyid mengatakan para korban mendesak pemerintah memulihkan rumah korban yang dibakar. Serta memudahkan korban mendapat surat-surat berharga yang terbakar dalam penyerangan tersebut. Serta, Presiden dituntut untuk menjamin kebebasan komunitas Syiah di Sampang menjalankan keyakinannya. Sebagaimana yang diamanatkan konstitusi bahwa pemerintah menjamin warganya untuk berkeyakinan.

Alih-alih memulangkan warga, Rosyid mengatakan pemerintah kabupaten (Pemkab) sampang dan pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Timur lebih memilih untuk merelokasi para korban. Menurutnya, para korban menolak kebijakan tersebut karena para korban adalah warga negara Indonesia yang berhak untuk hidup dan tinggal di tanah kelahirannya. Yaitu di kampung halaman mereka sendiri. “Relokasi itu bukan menyelesaikan masalah tapi menambah masalah,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama peserta aksi lainnya, Bujadin, mengatakan pemerintah daerah tidak tanggap terhadap kebutuhan para korban. Bahkan, Bupati Sampang belum pernah sekalipun menginjakan kaki di GOR Sampang untuk menengok kondisi para korban. Selain mendesak pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para korban, Bujadin meminta agar aparat penegak hukum bertindak adil dengan menghukum para pelaku penyerangan. Khususnya aktor penting yang memerintahkan penyerangan tersebut.

Sementara pendamping korban dari KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, mengatakan para korban akan menyambangi sejumlah lembaga pemerintahan. Seperti DPR, Mabes Polri dan Presiden. Dengan menyambangi berbagai lembaga negara, para korban berharap mendapat titik terang kapan mereka dipulangkan ke kampung halaman dan dipenuhi hak-haknya. Fatkhul mengatakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, para pengungsi berburu binatang liar untuk dijual. Hasilnya, digunakan membeli makan dan susu anak-anaknya.

Sebagaimana Rosyid, Fatkhul menilai kondisi para korban di GOR Sampang memprihatinkan karena minimnya bantuan pemerintah. Padahal di dalam GOR terdapat empat bayi yang baru lahir serta satu orang korban terserang stroke. Mengingat upaya advokasi yang dilakukan KontraS serta organisasi masyarakat sipil lainnya tidak mendapat tanggapan yang memuaskan dari pemerintah, maka para korban melakukan aksi mengendarai sepeda Surabaya-Jakarta. Fatkhul mengatakan para korban mau melakukan aksi itu karena tidak punya uang membeli tiket bus untuk menyambangi Jakarta dalam rangka menyelesaikan kasus yang mereka hadapi.

Tak ketinggalan, Fatkhul membantah pernyataan pihak pemerintah yang menyebut relokasi sebagai solusi terbaik untuk kasus Sampang dengan dalih warga menolak komunitas Syiah. Menurutnya, fakta yang ada di lapangan tidak menunjukan warga di desa Nangkernang dan Blu’uran menolak kehadiran komunitas Syiah untuk kembali ke sana. Pasalnya, secara faktual kondisi masyarakat yang ada di kedua desa itu terbuka dengan keberadaan komunitas Syiah.

Misalnya, ketika terjadi beberapa kali penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang, tak sedikit warga sekitar yang membantu menyelamatkan para korban. Apalagi antar warga sendiri masih banyak yang mempunyai hubungan kekerabatan erat walau mereka berbeda aliran (Syiah-Sunni). Penolakan itu menurut Fatkhul ada di tataran sebagian tokoh dan pimpinan masyarakat setempat.

Parahnya lagi, Fatkhul melanjutkan, pemerintah khususnya aparat kepolisian tidak mendukung posisi korban. Misalnya, ketika terdapat sejumlah korban yang kembali ke kampung halaman, selang tiga hari para korban itu dievakuasi kepolisian dan dikembalikan ke GOR Sampang. “Pemerintah tidak melihat fakta di lapangan, sehingga menyebut warga menolak komunitas Syiah,” tuturnya.

Fatkhul mengaku heran kenapa setelah sembilan bulan sejak para korban mengungsi di GOR, tidak terlihat upaya pemerintah menyelesaikan kasus yang menimpa penganut Syiah di Sampang. Padahal, pasca peristiwa penyerangan tersebut, sejumlah perwakilan dari lembaga negara sudah bertandang ke GOR Sampang untuk melihat kondisi para korban.

Mulai dari pejabat kementerian, anggota DPR, Kapolri sampai Wantimpres. Dari berbagai lembaga itu Fatkhul mengingat kalau mereka berjanji untuk segera menuntaskan masalah yang ada. Namun, sampai sekarang belum tampak janji itu terealisasi, seperti tidak ada kepastian kapan para korban kembali ke kampung, jaminan keamanan dan pemulihan hak. “Para pejabat itu seperti berwisata ke GOR Sampang, tapi tidak ada hasil walau sudah sembilan bulan para pengungsi ada di GOR Sampang,” kesalnya.

Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mencabut perlindungan untuk para saksi dan korban kasus Syiah di Sampang. Menurut anggota LPSK,  Teguh Soedarsono, pencabutan itu dilakukan karena sejumlah hal sudah dilakukan, salah satunya proses peradilan. Menurutnya, walau ada pihak yang melakukan upaya hukum, tapi pihak Kejaksaan Sampang menilai pelayanan hak prosedural para saksi sudah cukup.

Selain itu, Pemprov Jawa Timur dan Pemkab Sampang berjanji untuk mengantisipasi agar konflik serupa tidak terjadi lagi. Sedangkan untuk para korban yang tadinya mendapat perlindunganLPSK, Teguh mengatakan pihak kepolisian melakukan pengamanan, terutama mengawal warga Syiah untuk kembali ke tempat tinggalnya.

Oleh karenanya, Teguh menganggap tugas LPSK terhadap para saksi dan korban sudah sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan peraturan perundang-undangan. Sekarang proses penyelesaian itu menurutnya sudah dilanjutkan Pemprov Jawa Timur dan Pemkab Sampang. Misalnya, Pemda sudah emnyediakan tempat tinggal, namun ditolak karena para korban ingin kembali ke kampung halaman.