KontraS Minta MA Pegang Kendali Penuh

JAKARTA – Diluar konteks pengadilan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak  Kekerasan  (KontraS) meminta  Mahkamah Agung (MA) memegang  kendali penuh gelar keadilan atas kasus Cebongan ini. Meskipun kasus ini adalah ruang yang tersedia, mengingat mekanisme pengadilan umum atau  pengadilan ham gagal ditegakkan, maka optimalisasi untuk memenuhi keadilan bagi keluarga korban, dan masyarakat perlu dijaga.

Selain itu KontraS mengapresiasi penggunaan KUHP pasal 340 (pasal Pembunuhan  Berencana) dan 338 (pasal Pembunuhan); pasal 103 (1) dan (3) KIHPMiliter (tentang Pembangkangan Perintah Dinas) dan pasal 170 (1) KUHP (pasal tindak kekerasan yang mengakibatkan korban pada seseorang dan barang). Serta penggunaan pasal turut serta dalam tindakan pidana yang terdapat  dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yaitu pasal 55 (1) dan (2) dan 56 (2). Demikian pernyataan Koordinator KontraS Haris Azhar dalam konferensi pers di Kontras, sore ini.

"Kami meminta MA memegang kenal penuh gelar keadilan ini. Selain itu  kami memberikan catatan, dari rencana pelaksanaan persidangan kasus  penyerangan LP kelas II Sleman (Cebongan), pada 23 Maret 2013; yaitu pemberkasan, dari info yang tersedia, hanya dilakukan terhadap 7 orang dari 12 nama anggota Kopassus Grup II yang disebutkan. Dengan demikian 5 lainnya masih belum diketahui kapan berkasnya rampung.

Sehubungan dengan selama pemeriksaan ditingkat yang tertutup patut pula  dipertanyakan; 1) apa peran dari masing-masing 7 yang sidangkan? 2) apa peran dari yang 5 belum masuk persidangan?," kata Haris.

Selain itu pemberkasan dan pemeriksaan dilakukan terpisah-pisah. KontraS khawatir hal ini menjadikan gambaran kasus Cebongan Maret 2013 menjadi tidak utuh. Penting diingat bahwa, dalam catatan KontraS, penyerangan dilakukan dengan pembagian tugas; membunuh 4 tahanan dan perusakan fasilitas LP Cebongan disaat bersamaan. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam upaya pembunuhan 4 tahanan. Pembagian tugas ini merupakan bukti tindakan yang terencana. Oleh karenanya jikalau dilakukan dengan pemberkasan dan persidangan terpisah, maka fakta kasus tersebut haruslah seragam. Inilah esensi penggunaan pasal 340 KUHP.

"Unsur terencana juga terlihat pada pengetahuan sejumlah pihak, seperti Kapolda dan petinggi militer setempat (Yogyakarta) yang gagal mencegah, sejak 19 Maret 2013. Hal ini dibuktikan dengan SMS (Short Message Service) yang beredar diantara Polisi hingga sampai ke salah satu korban  sebelum dieksekusi pada 23 Maret 2013 dini hari.

Unsur kesengajaan lainnya terlihat, diantaranya, dari alat yang digunakan senjata laras panjang tugas kemiliteran, yang dalam keterangan Denpom AD- merupakan AK-47; kesengajaan untuk menyerahkan 4 tahanan ke LP kelas II Cebongan oleh Polisi (sengaja menempatkan diluar kantor milik Polri/Polda Yogyakarta). Unsur ini patutnya diakomodir dalam pendakwaan," tegas Haris.

Terkait dengan penggunaan pasal 340 KUHP, dimana ancaman hukumannya adalah pidana mati, kami meminta Oditur Militer tidak menggunakan ancaman tersebut, mengingat bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup. Hal ini merupakan penghukuman yang berlebih jika diterapkan. Dipasal 340 masih tersedia penghukuman berupa penjara seumur hidup atau 20 tahun.