Diskusi Publik, Masa Depan Kasus LP Cebongan dalam Peradilan Militer

Rabu (5/6), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) mengadakan sebuah diskusi Publik dengan dengan tema Masa Depan Kasus LP Cebongan dalam Peradilan Militer, bertempat di pelataran KontraS. Diskusi berkenaan dengan proses Pengadilan Militer untuk kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan yang akan segera digelar di Yogjakarta. Diskusi dimulai pada pukul 14.00 WIB, dengan peserta sekitar 70 (tujuh puluh) orang, terdiri dari latar belakang yang beragam, diantaranya Aktivis, Buruh, Mahasiswa, aparatur negara, wartawan, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang selama ini diadvokasi KontraS.

Diskusi menghadirkan empat pembicara; pembicara pertama, Haris Azhar, Kordinator KontraS. Haris memberikan pengantar diskusi mengenai perkembangan kasus dan sikap kontraS terkait Peristiwa LP Cebongan. KontraS melihat 2 (dua) bulan sudah investigasi dilakukan, namun tidak ada informasi mengenai pembagian peran diantara pelaku. Kasus LP Cebongan seharusnya ditangani secara bersama-sama oleh oleh Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sebab diperlukan konsolidasi antar lembaga negara untuk penanganan yang komprehensif, mengingat keterlibatan aktor yang berbeda-beda, dari Polisi teritorial hingga Komandan regu Koppasus. KontraS berpendapat rekonsruksi menjadi bagian penting yang juga harus dilakukan untuk pembuktian peristiwa guna menguji jumlah pelaku dan peran pelaku yg berbeda-beda, tanggung jawab komando dan lain-lain. Haris Azhar melihat bahwa Peradilan Militer tidak mengakomodir fakta-fakta secara keseluruhan dan dan prosesnya kurang partisipatif.

Pembicara kedua adalah Ahli Hukum Militer yaitu Fadhilah Agus yang membahas mengenai masa depan penyelesaian kasus LP Cebongan dalam Peradilan Militer, Fadhilah berpendapat selama ini belum ada mekanisme jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Huukum Pidana Militer (KUHPM) mengenai tindak pidana pelaku Militer. Pada tahun 2012 ada usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer dengan merubah tindak pidana yang dilakukan aparat TNI untuk diadli di Peradilan Umum, namun Revisi UU tersebut macet. Terkait dengan Kasus Cebongan Fadhilah juga berpendapat bahwa yang bisa dilakukan ialah bagaimana penyelidikan dijalankan dengan benar dan hasil investigasi dari Kelompok masyarakat seperti KontraS bisa menjadi masukan oleh Oditur Militer, seluruh prosesnya perlu kita kawal agar lebih transparan dan berkeadilan, walaupun kita ketahui banyak kelemahan dalam Peradilan Militer.

Pembicara ketiga Lilik Pintauli komisioner LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang menerangkan bagaimana perlindungan saksi dan korban dalam Peradilan Militer kasus LP Cebongan, LPSK telah melakukan perlindungan fisik dan psikologis, bahwa terdapat trauma dan ketakutan yang dialami para saksi, Lilik berpendapat perlu adanya pengamanan bagi para saksi saat sidang berlangsung, Lilik juga mengatakan bahwa Teleconference sebagai salah satu cara terbaik untuk melindungi saksi-saksi dalam memberikan keterangan selama di persidangan.

Pembicara terakhir dari Kementerian Hukum dan HAM/Ka Kanwil Yogyakarta Rusdiyanto, memaparkan bagaimana jalan keadilan untuk kasus LP Cebongan. Rusdianto mengatakan perlu adanya Proses hukum yang adil dan transparan, penting sekali kenyamanan untuk para saksi-saksi, yang notabene adalah narapidana yang sedang menjalani proses hukum. Rusdianto juga sepakat agar para saksi dimungkinkan untuk memberikan kesaksian melalui teleconference.