Remisi Khusus Koruptor, Masih Perlukah?

Remisi Khusus Koruptor, Masih Perlukah?

Jakarta – Pemerintah memberikan remisi kepada 128 narapidana kasus korupsi untuk edisi Idul Fitri tahun ini. LSM Kontras dan ICW mempertanyakan keputusan remisi bagi koruptor itu. Mengapa?

Pemerintah SBY diminta menjelaskan alasan pemberian remisi-remisi tersebut. Terpidana korupsi penggelapan pajak dan pencucian uang Gayus Tambunan menjadi salah satu yang menerima remisi lebaran kali ini

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, mempertanyakan apakah napi yang diberi remisi tersebut sudah berperan sebagai Justice Collaborator atau belum. ICW pun bernada sama, mencela remisi bagi koruptor itu. Alasannya, korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan pemerintah SBY bersikap lembek terhadapnya.

Remisi khusus Lebaran yang diberikan Kemenkum HAM tahun ini berkisar antara 15 hari sampai dua bulan. Lebih dari 54 ribu tahanan mendapatkan remisi, termasuk tahanan kasus korupsi.

Dalam hal ini, remisi atau pengurangan masa tahanan pada hari raya, menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, adalah salah satu cara pemerintah memberi reward pada narapidana yang berkelakuan baik.

Kalla menilai semua napi yang berkelakuan baik harus menerima remisi atau pemotongan masa tahanan. Jika tidak, kata dia, tak ada bedanya dengan narapidana yang tidak berkelakuan baik. "Siapapun dia," kata Kalla.

Tapi, bukan berarti semua koruptor boleh mendapatkan remisi. Koruptor seperti apa yang layak diberi remisi? "Koruptor yang taat, mau bekerja sama, yang memberikan penyuluhan-penyuluhan seperti mengajar," kata Kalla.

Sejak 2012, pemerintah memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat bagi narapidana kejahatan luar biasa, seperti terorisme, narkoba, korupsi, pelanggaran HAM berat, dan kejahatan terhadap keamanan negara.

Melalui PP Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pemerintah menambah syarat bagi napi kejahatan luar biasa jika ingin mendapat pengurangan masa tahanan.

Syarat tambahan itu tercantum dalam pasal 34, yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Juga telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan serta telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis, atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis untuk narapidana WNA.

Harus diakui, upaya pengetatan pemberian remisi terhadap para koruptor dinilai masih belum maksimal. Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat pesimistis pengetatan bisa dilakukan dengan baik selama belum ada pemahaman yang sama dalam politik hukum Indonesia. Bisa-bisa, koruptor menjadi anak emas dari tindak pidana.

Martin menilai gejala tidak ada sepemahaman itu terlihat dari mulai digoyangnya kewenangan KPK. Contohnya, soal penyadapan yang kini coba diganggu dengan membuat antirasuah itu harus melengkapi serangkaian izin. Kalau perlu, KPK tidak boleh melakukan penyadapan. "Politik hukum kita dalam rangka melawan koruptor itu bagaimana sebenarnya? KPK saja sudah dilawan," kata politisi asal Partai Gerindra itu.

Pemerintah dan DPR perlu menentukan arah politik untuk melawan korupsi itu seperti apa, agar jelas duduk perkaranya dan remisi tidak jadi kontroversi berkelanjutan di kemudian hari. Tidak sulit bukan?