Damai tanpa Keadilan

Damai tanpa Keadilan

Hari ini, 15 Agustus 2013, tepat delapan tahun sudah usia Perjanjian Damai Aceh. Rakyat Aceh patut bersuka cita menyambut hari bersejarah ini. Hari itu merupakan hari dimana air mata telah tergantikan dengan senyum sumringah. Lentusan senjata yang mencabut nyawa-nyawa manusia tak berdosa, kini telah kembali ke sarungnya.

Tapi kebahagian ini belum lah lengkap rasanya kalau hati mereka (korban) masih terganjal menunggu jawaban atas misteri hilangnya orang-orang yang diculik pada masa konflik.

Dalam setiap perjamuan dengan keluarga orang hilang, kalimat ini ”meunyoe mantoeng hudep dipat alamat, adah pie ka matee dipat kuburan jeut mangat kamoe jak ziarah (kalau masih hidup dimana alamatnya, andai pun sudah meninggal dimana kuburan agar kami bisa berziarah) sering mereka ucap. Kalimat ini mengusik hati nurani saya yang paling dalam. Selama kehidupan masih ada, mereka akan terus bertanya dan mendambakan rasa keadilan.

Delapan tahun sudah. Namun lembaran hitam sejarah Aceh belum jelas siapa pelakunya. Korban pun makin terabaikan. Keadilan dan kebenaran yang diimpikan tak kunjung turun ke bumi Serambi Mekkah. Rakyat terus dibuat menanti adil membumi di tanah pusaka endatu.

Kondisi ini makin memperdalam kekecewaan mereka kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia. Terlebih lagi persenglingkuhan elit politik makin memperlebar jarak antara keadilan masa lalu dengan kepentingan pragmatis segelintir manusia.

Doa, air mata, darah, harta, dan nyawa yang telah melayang dalam perjuangan melawan ketidakadilan seakan tak bernilai. Jika pemimpin Aceh terus mengabaikan ini, tidak usah terkejut kalau kata-kata “penghianat” terucap lantang dari mulut-mulut mereka. Kemudian berubah menjadi pemberontakan baru.

Perlu diingat bahwa ketidakadilan adalah faktor utama terjadinya pemberontakan. Itu juga salah satu faktor yang mendorong Wali Hasan Tiro melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Meskipun perjuangan tak mampu mengantar Aceh pada tepian pemisahan ‘diri’ dari bingkai NKRI. Namun Wali Hasan Tiro telah menoreh sebuah perubahan progressif yang diakui ban sigoem donya (di seluruh dunia-red). MoU Helsinki merupakan kehendak Yang Maha Kuasa sekaligus buah ikhtiar perjuangan bangsa Aceh yang mampu mendudukkan Pemerintah Indonesia di meja perundingan.

Kini, tinggal giliran pemerintah berkomitmen menjalankan amanat MoU Helsinki. Apa yang akan anda perbuat untuk rakyat yang sekarang menunggu uluran tangan dan intervensi anda untuk menuju Aceh yang lebih adil dan bermartabat.

Kita menginginkan Aceh berubah menuju ke arah yang lebih adil, aman dan damai. Anda harus mengutamakan rakyat, terutama mereka para korban. Jangan mau didikte oleh para penjahat kemanusiaan, cukong atau pun penyandang dana yang dulu memberi bantuan. Tak boleh ada balas budi yang mengabaikan hati nurani.

Saya masih menaruh harapan pada pemimpin Aceh, meskipun sedikit pesimis. Sebab, tak ada tempat lain yang bisa diharapkan. Terlebih lagi pada Pemerintah Pusat, yang lebih mirip ‘wajah baru’ dari rezim Orde Baru.

Saya berharap Pemimpin Aceh segera menunjukkan keberanian penuh ketulusan demi keadilan dan kebenaran. Astar Siregar menulis dalam bukunya Reconciliation in Poetry, betapapun kelat pahitnya, masa lalu harus diungkapkan. Rekonsiliasi adalah keberanian penuh ketulusan untuk mengerti kelamnya silam demi esok yang lebih cemerlang. Rekonsiliasi merupakan prasyarat untuk pembangunan. Taklah mungkin negeri dibangun di atas dendam, pertengkaran, pertikaian yang tak berkeseduhan.

Hal senada diuraikan oleh Teuku Kemal Fasya dalam tulisannya Merekonsiliasikan Kejahatan Masa Lalu? Rekonsiliasi menjadi mekanisme yang diperlukan untuk membahasakan kejahatan masa lalu secara jernih, realistis, dan objektif, tanpa kehilangan semangat keadilan. Konsep rekonsiliasi menyandarkan pada pemahaman bahwa tidak ada kejahatan yang kebal hukum (impunitas) meskipun tak ada garansi mengembalikan situasi seperti sediakala. Rekonsiliasi mendudukkan dengan tepat dan beradab, siapa yang menjadi korban (the victim) dan siapa pelaku (the perpetrator).

Qanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) harus diterbitkan dalam tahun ini. Seperti janji Ketua DPRA Hasbi Abdullah yang mengatakan Qanun KKR akan disahkan pada tahun ini (2013). Qanun ini adalah kebutuhan rakyat Aceh, dan lebih mendesak dibandingkan dengan aturan lainnya.