Menuntut Tanggung Jawab Negara untuk Rehabilitasi Korban 1965/1966

Siaran Pers Bersama

Menuntut Tanggung Jawab Negara untuk Rehabilitasi Korban 1965/1966 

Anak saya dicekal untuk melanjutkan sekolah sebab orangtuanya dituduh PKI dan saya sendiri dituduh Gerwani. Atas alasan itulah anak-anak kami tidak melanjutkan sekolah
IIF, Korban 1965 asal Pulau Buton

Pada tanggal 30 September setiap tahunnya, publik selalu disuguhkan dengan tayangan di layar kaca tentang kekejaman G30S/PKI. Tayangan yang sarat akan propaganda era Soeharto tersebut sukses membuat publik benar-benar percaya bahwa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan kekejaman sedemikian rupa sehingga pantas jika untuk ditumpas di kemudian hari. Pidato Presiden Indonesia kala itu, Soeharto yang memerintahkan anggota militer untuk menumpas anggota PKI maupun antek-anteknya telah mengakibatkan jutaan orang dibunuh secara sewenang-wenang, ditangkap dan ditahan puluhan tahun tanpa melalui proses Pengadilan, dihilangkan secara paksa, disiksa, diperkosa, dirampas harta bendanya dan didiskriminasi hingga puluhan tahun.

Kini, sudah 48 tahun pasca terjadinya peristiwa pembantaian terhadap korban 1965/1966. Meski tayangan tersebut sudah tidak lagi diperkenankan di layar kaca namun ketiadaan pelurusan sejarah atas fakta sesungguhnya yang terjadi di tahun 1965/1966 tersebut mengakibatkan baik Pemerintah maupun publik masih terus melakukan diskriminasi terhadap korban peristiwa 1965/1966. Stigma sebagai anggota partai terlarang dan komunis tersebut masih terus dihadapi para korban di hari tuanya. Sejumlah peraturan diskriminatif pun masih berlaku hingga saat ini yang membuat korban maupun keluarganya masih kesulitan untuk mengurus pensiun, melanjutkan sekolah, memperoleh pekerjaan maupun mendapatkan hak-hak sipil dan politiknya.

Dari segi legal, pada 23 Juli 2012 lalu, Tim Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM telah mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965/1966. Komnas HAM pun merekomendasikan agar Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti laporan penyelidikan pun ke tingkat penyidikan maupun menggunakan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sayangnya, rekomendasi tersebut diabaikan oleh Jaksa Agung dengan mengembalikan berkas penyelidikan tersebut kepada Komnas HAM. Alih-alih laporan tersebut masih harus dilengkapi, sikap Jaksa Agung tersebut tidak jauh berbeda dengan penanganan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terhenti di tingkat penyidikan seperti kasus Talangsari Lampung, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II maupun kasus Wasior Wamena. Ketiadaan kemauan politik untuk menindaklanjuti berkas peristiwa 1965/1966 membuktikan bahwa Negara ini masih melakukan pengingkaran terhadap suatu kebenaran dan keadilan. 

Terkait dengan diamnya Negara terhadap peristiwa 1965/1966 tersebut, untuk itu Kami:

  1. Mendorong Presiden untuk segera merehabilitasi dan memberikan pemenuhan terhadap hak-hak korban peristiwa 1965/1966
  2. Meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus sejumlah peraturan diskriminatif terhadap korban peristiwa 1965/1966 yang masih berlaku hingga saat ini
  3. Mendesak Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti laporan Tim Pro Justisia Komnas HAM dengan melakukan penyidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa 1965/1966

Jakarta, 30 September 2013

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Korban peristiwa 1965/1966
Eva Kusuma Sundari (Komisi III DPR RI)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)