Ratifikasi Konvensi Orang Hilang

Ratifikasi Konvensi Orang Hilang

DI pengujung masa paripurna, DPR periode 2009-2014 melalui Badan Musyawarah telah memberikan mandat kepada Komisi I untuk melakukan pembahasan atas Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa.

Dibahasnya konvensi ini membawa angin segar bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Penghilangan orang secara paksa atau yang lebih populer dengan istilah penculikan adalah sebuah praktik politik yang sering dilakukan negara-negara otoriter di berbagai belahan dunia. Di masa lalu, praktik penghilangan paksa digunakan penguasa untuk menghentikan aktivitas warga negaranya yang kritis atas setiap kebijakan yang telah diambil. Militer menjadi instrumen utama untuk melakukan tindakan penghilangan paksa.

Indonesia sendiri telah mempraktikkan kejahatan penghilangan paksa sejak terjadinya perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto mulai tahun 1965 (dikenal dengan Tragedi 1965), Peristiwa Tanjung Priok 1984, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998, Tragedi Mei 1998, serta penghilangan paksa di Aceh dan Papua saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer. Akibat tindakan penghilangan paksa, puluhan ribu korban masih belum diketahui keberadaannya hingga kini.
Di Indonesia, kata penghilangan paksa mulai dikenal pada masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi. Saat reformasi bergulir Mei 1998, korban dan keluarga korban penculikan aktivis periode 1997-1998 mendesak presiden menemukan keluarga mereka yang telah diculik militer. Latar belakang orang yang diculik pada periode tersebut adalah aktivis mahasiswa dan pemuda yang kritis yang saat itu dianggap penguasa sebagai kelompok membahayakan serta merongrong negara.

Saat itulah publik mulai mengetahui perihal penculikan oleh militer atas orang-orang yang kritis terhadap kebijakan negara. Upaya keluarga korban mendesak penyelesaian atas kasus penghilangan paksa anggota keluarganya memperoleh perhatian serius dari publik di tingkat nasional ataupun internasional. Pemerintah merespons melalui Panglima ABRI untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang kemudian mampu membuktikan bahwa penculikan terhadap aktivis dilakukan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Sejarah Konvensi

Di berbagai belahan dunia, isu penghilangan paksa sudah sejak lama dipraktikkan rezim otoriter. Argentina telah mempraktikkan tindakan tersebut sejak kekuasaan junta militer periode 1976- 1983. Praktik ini terungkap setelah ibu dari para korban yang dihilangkan paksa?dikenal dengan sebutan madress plaza de mayo?melakukan aksi diam di depan Istana Presiden Argentina. Atas desakan tersebut, Pemerintah Argentina membentuk Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional para la Desaparacion de Personas/Conadep) dengan madat melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi antara tahun 1976 dan 1983 pada periode kediktatoran militer. Komisi ini berhasil mendorong pengungkapan kebenaran dan mendorong pelaku dihukum lewat proses peradilan.
Atas praktik penghilangan paksa di beberapa negara otoriter pada saat ini, korban dan keluarga korban membangun sebuah gerakan perlawanan secara khusus bagi ibu-ibu korban yang anaknya dihilangkan secara paksa seperti dipelopori oleh gerakan ibu-ibu korban di Argentina. Gerakan ini telah menginspirasi korban di Amerika Latin untuk terus menyerukan kepada dunia tentang pentingnya melakukan pencegahan dan menghukum pelaku. Perjuangan korban ini terus bergulir hingga ke belahan negara di dunia lain.

Kemudian PBB membuat Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan secara paksa  (United Nations Declaration on the Protection of All Persons from Enforced or Involuntary Disappearance). Selanjutnya Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Orang secara Paksa disahkan Dewan PBB pada 6 Februari 2007 di Paris, Perancis.

Selain atas desakan korban dan keluarga korban, dorongan ratifikasi ini dimulai sejak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan atas peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Pada 2006 Komnas HAM menyerahkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan sebagaimana amanat UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dengan alasan belum terbentuk Pengadilan HAM Ad Hoc atas peristiwa tersebut.

Selanjutnya, tahun 2007 DPR RI melalui Rapat Paripurna membentuk Panitia Khusus Penanganan Pembahasan atas Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998. Pansus telah melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pihak untuk dimintai keterangan, termasuk dari pemerintah sepanjang 2007-2009; Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Mabes TNI, kepolisian, dan Badan Intelijen Negara; serta orang yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa itu dan pihak terkait.

Pada 28 September 2009, pansus menyerahkan laporan melalui Sidang Paripurna berisikan 4 (empat) rekomendasi kepada presiden: merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih dihilangkan paksa, memberikan pemulihan kepada keluarga korban, dan meratifikasi konvensi internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa sebagai bentuk dan komitmen Indonesia terhadap perlindungan dan penghormatan HAM.

Kemudian 30 September 2009, Ketua DPR menyerahkan rekomendasi ini kepada presiden. Ratifikasi konvensi adalah rekomendasi DPR yang ditujukan kepada presiden. Setelah mendapatkan rekomendasi ini, presiden terkesan tidak memiliki itikad baik untuk menjalankannya. Baru kemudian pada 27 September 2010 menjelang satu tahun usia rekomendasi DPR, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri menandatangani Konvensi Orang Hilang yang kemudian dimasukkan ke Rencana Aksi Nasional HAM (2011-2014).

Urgensi Ratifikasi

Melalui ratifikasi konvensi ini setidaknya ada tiga hal penting dalam mendorong pemajuan, perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM. Pertama, DPR telah mengambil peran dalam memutus rantai impunitas (kejahatan tanpa hukuman) yang selama ini terus dipraktikkan Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, terlebih berkas hasil penyelidikan atas peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 masih terhenti proses hukumnya di Kejaksaan Agung. Kedua, mencegah praktik penghilangan paksa di masa depan. Ketiga, mendorong proses penyempurnaan yang konstruktif atas legislasi yang sedang direvisi DPR, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Setelah melalui proses perjalanan panjang, kini berpulang kembali kepada DPR. Melalui Komisi I, DPR harus mengambil kontribusi maksimal. Menjelang masa paripurna, DPR harus memberikan catatan positif atas penegakan HAM seperti telah dilakukan oleh periode sebelumnya melalui empat rekomendasi yang telah diberikan kepada Presiden. Capaian positif dan komitmen penegakan HAM yang sudah diraih DPR periode lalu harus terus diperjuangkan melalui proses ratifikasi konvensi ini. Demi masa depan Indonesia yang lebih baik tanpa praktik penghilangan paksa dan menghentikan praktik kotor penguasa otoriter, ratifikasi sebuah keharusan yang tak bisa ditawar lagi.

M Daud Berueh, Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)