2 Tahun Tragedi Sape, Bima NTB: Komnas HAM RI dan POLRI Gelapkan Fakta dan Keadilan untuk Korban Penyerangan di Pelabuhan Sape (2011)

 

2 Tahun Tragedi Sape, Bima NTB

Komnas HAM RI dan POLRI “Gelapkan” Fakta dan Keadilan
untuk Korban Penyerangan di Pelabuhan Sape (2011)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] mengecam sikap Diam Polri dan Komnas HAM atas Tragedi Penembakan di Pelabuhan SAPE pada 24 Desember 2011, 2 tahun lalu. Kami mengingatkan bahwa Komnas HAM RI dan Kepolisian RI, masih memiliki hutang berupa kewajiban untuk menyelidiki dan memastikan proses hukum untuk para pelaku, serta pemulihan untuk 82 korban dan para keluarga korban dalam peristiwa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di pelabuhan Sape, kecamatan Lambu, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada 24 Desember 2011.

Berdasarkan data, fakta dan beragam informasi yang berhasil di kumpulkan dan dianalisis oleh KontraS, hingga update perkembangan kasus, KontraS menemukan dugaan kuat telah terjadi pelanggaran HAM berat; berupa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sejumlah pelaku patut dimintai pertanggungjawaban dalam peristiwa penyerangan atas warga sipil di pelabuhan Sape, diantranya: [1] Bupati Bima ketika peristiwa terjadi, sebagai pihak yang mengeluarkan ijin rencana eksplorasi tambang dan dugaan manipulasi ijin AMDAL; [2] PT Sumber Mineral Nusantara [SMN], selaku pemohon ijin, penting untuk digali sejauh mana relasi PT SMN dengan Bupati dan kepolisian setempat; [3] Kepolisian Bima, selain itu penting untuk membuktikan sejauh mana Polda NTB mengetahui atau terlibat dalam peristiwa ini. Dari hasil investigasi KontraS, tercatat kesatuan polisi yang terlibat penyerangan diantaranya: Pasukan huru-hara (PHH), Brimob, Dalmas, Intel Polisi, dan Sabhara.

Dalam investigasi kami ditemukan pula, bahwa kuat dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penyerangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil yang melakukan pendudukan di pelabuhan Sape, ketika itu. KontraS menemukan unsur bahwa penyerangan yang dilakukan mengandung unsur niat jahat [mens rea], bukan merupakan spontanitas belaka, apalagi sekedar disederhanakan menjadi dampak dan pelanggaran individu anggota polisi dilapangan. Niat yang melatari serangan oleh polisi teridentifikasi dari pengerahan kekuatan berlebih [excessive use of force], penggunaan senjata mematikan [berupa peluru tajam], penembak jitu, dan menyiagakan beberapa mobil dan ambulance yang kemungkinan disiapkan untuk evakuasi. Fakta penting lainnya adalah warga sipil yang menjadi target serangan sama sekali tidak bersenjata / mempersenjatai diri [bukan milisi / para militer / kombatan].

Berangkat dari intensi serangan terhadap warga sipil tersebut, KontraS menemukan beberapa pelanggaran yang memenuhi kriteria kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa: pertama, pembunuhan, menimpa 3 warga sipil; kedua, penangkapan dan penahanan paksa terhadap 38 orang pasca terjadinya penyerangan terhadap aksi demonstrasi di Pelabuhan Sape; ketiga, persekusi atau penganiayaan, tercatat dialami oleh 11 orang, keempat, perbuatan tidak manusiawi lainnya, berupa penembakan yang mengenai 36 orang warga sipil.

Selain kejahatan kemanusiaan, KontraS juga mencatat pelanggaran hak-hak lainnya, berupa pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran terhadap hak-hak anak, pelanggaran atas hak kesehatan, dan perusakan properti masyarakat setempat. Lebih dari itu, keberlarutan  dan ketidak jelasan atas proses hukum dan terbengkalainya pemenuhan hak korban, selama 2 tahun ini, harus dicatat sebagai bentuk pelanggaran ham lanjutan, yakni hak untuk mengakses keadilan dan ketiadaan penghukuman [impunitas] untuk pelaku.

Ketiadaan Keadilan dan proses hukum disebabkan oleh upaya Polri yang sengaja tidak menindaklanjuti penanganan kasus ini. Demikian pula dengan Komnas HAM. Laporan pemantauan Komnas HAM, tertanggal 3 Januari 2012 (setebal 59 halaman), tidak satupun menyebut kata penyelidikan lebih lanjut dan dugaan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM menyederhanakan fakta dan solusi untuk para korban dengan rekonsiliasi, pendekatan dialogis dan kerja bakti untuk memperbaiki dampak kerusakan. Sungguh aneh bin ajaib, lembaga seperti Komnas HAM yang memiliki mandat penyelidikan terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, melihat fakta dan korban dalam peristiwa di Pelabuhan Sape, tidak lebih sebagai peristiwa biasa, dimana semua pihak baik warga, pemerintah dan korporasi sama-sama khilaf alias lepas kendali, sehingga harus saling mengkoreksi dan berekonsiliasi satu sama lain. Lebih celaka lagi, tidak nampak upaya lanjutan dari Komnas HAM, terhadap para korban luka tembak, mereka yang trauma, kerugian masyarakat dan keberlanjutan upaya pengobatan bagi korban yang mengalami luka serius.

Situasi ini turut diperburuk dengan rendahnya komitmen Polri, dalam memastikan proses hukum pidana, terhadap anggotanya yang diduga kuat terlibat dalam kasus penyerangan di pelabuhan Sape. KontraS mencatat, sejauh ini informasi yang bisa diakses hanya sebatas proses internal [etik] terhadap:

  1. Bripda Fauzi (anggota Brimob Bima) dijatuhi hukuman teguran tertulis penundaan mengikuti pendidikan selama 3 (tiga) bulan dan kurungan selama 3 (tiga) hari.
  2. Briptu Fatwa (anggota Resmob BKO Polres Kobi) dijatuhi hukuman teguran tertulis, penundaan pendidikan selama 3 (tiga) bulan, dan kurungan selama 3 (tiga) hari.
  3. Briptu Ida Bagus Juli Putra (anggota Brimob Mataram) dijatuhi hukuman teguran tertulis, penundaan pendidikan selama 3 (tiga) bulan, dan kurungan selama 3 (tiga) hari.;
  4. Briptu Adinata (Satintel Polda NTB) dijatuhi hukuman teguran tertulis, penundaan pendidikan selama 3 (tiga) bulan, dan kurungan selama 3 (tiga) hari.

Selanjutnya, berdasarkan data dan fakta dalam kasus penyerangan terhadap penduduk sipil di Pelabuhan Sape dan rangkaian peristiwa setelahnya, maka KontraS merekomendasikan:

Pertama, Komnas HAM RI harus segera melakukan penyelidikan pro-yustisia, berdasarkan ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini penting untuk dilakukan sesegera mungkin, mengingat dari fakta dan data awal yang berhasil dikumpulkan oleh Kontras, terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa penyerangan terhadap masyarakat sipil di Pelabuhan Sape dan rangkaian peristiwa setelahnya.

Kedua, Kepolisian RI secara khusus Polresta Bima, pemerintah Kabupaten Bima, NTB, dan segenap pihak yang patut diduga kuat terlibat dalam penyerangan terhadap penduduk sipil di Pelabuhan Sape dan rangkaian peristiwa setelahnya, agar bekerjasama dengan baik, terhadap segala bentuk pemeriksaan dan proses hukum, sebagai bentuk akuntabilitas penegakan hukum.

 

Jakarta, 24 Desember 2013

 

Haris Azhar, SH, M.A
Koordinator