DPR Aceh Lemahkan Qanun KKR, Hak Korban Konflik Digadai (Respon atas Rencana Pengesahan Qanun KKR Aceh)

DPR Aceh Lemahkan Qanun KKR, Hak Korban Konflik Digadai
(Respon atas Rencana Pengesahan Qanun KKR Aceh)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam sikap Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang akan segera mengesahkan Qanun Aceh. Dalam amatan kami dan menggunakan prinsip HAM untuk korban-korban, Rancangan yang ada berpotensi menjadi alat politik disatu sisi dan berpotensi dilemahkan, disisi lain.

Secara prinsip ada sejumlah hal yang patut diperhatikan dalam sebuah Komisi Kebenaran, yaitu: membuat catatan pelanggaran HAM yang komprehensif; mengakomodir suara/harapan korban; dan mencegah berulangnya pelanggaran HAM di masa depan. Sayang, didalam rancangan terakhir versi 18 Desember 2013 yang akan disahkan pada 27 Desember 2013, kami menilai masih terdapat beberapa kelemahan, mulai dari periode peristiwa, kelembagaan KKR Aceh, proses pengungkapan kebenaran, reparasi/pemulihan dan proses rekonsiliasi.

Terdapat sejumlah hal yang mengkhawatirkan dan berpotensi menggagalkan tujuan dari KKR Aceh;

  • Dalam dasar pertimbangan tidak dimasukan rujukan hukum Pengesahan Perjanjian Internasional atas Hak Anak sebagaimana yang sudah diratifikasi dalam hukum Indonesia (Keppres nomor 36 tahun 1990). Hal ini penting mengingat ada ratusan ribu anak yang jadi korban langsung dari konflik di Aceh selama berdekade.
  • DPRA menyatakan bahwa KKR Independen (pasal 6), tetapi anggota-anggotanya dipilih oleh DPRA. Sudah jelas bahwa DPRA adalah konfigurasi politik dengan kepentingan-kepentingannya. Sepatutnya KKR Aceh anggota-anggotanya dipilih oleh Panitia Seleksi yang terdiri dari ahli HAM, perwakilan korban dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang ahli dalam bidang ini, seperti Pablo De Greif, Pelaporan Khusus PBB untuk Kejahatan dimasa lalu. DPRA sebaiknya hanya memfasilitasi tim seleksi dengan variasi individu anggota tim seleksi. Pengesahan langsung dibawah Gubernur Aceh.
  • Kekacauan dalam soal Komisi ini bisa dilihat dari pasal 9 dinyatakan bahwa KKR harus memastikan ketersediaan dana. KKR adalah lembaga pelaksana, soal Dana kerja seharusnya menjadi urusan Gubernur dan DPRA, bukan Komisi ini, untuk memastikan. Hal ini adalah celah bagi DPRA untuk tidak berpihak dalam politik pendanaan bagi KKR jika dianggap kedepan KKR berpotensi merugikan politik pihak-pihak tertentu di Aceh.
  • Lebih jauh, pasal 10 menyatakan bahwa anggota KKR memiliki syarat sebagai warga Aceh tapi juga harus bisa membaca Al-Qur’an. Artinya, hampir dipastikan hanya orang Aceh yang beragama Islam. Lalu bagaimana jika ada warga Aceh yang non muslim yang sebetulnya paham dan layak (mengingat pencapaian tujuan dan tugas-tugas kerja KKR kedepannya) untuk menjadi anggota KKR Aceh? Kesimpulannya, pengaturan soal Keanggotaan KKR Aceh, sangat tidak independen—dari sisi pemilihan, pengangkatan dan anggaran—serta diskriminatif dalam memilih orangnya; syarat tidak menjawab kebutuhan kerja anggota KKR. Jika memang harus orang Aceh dan beragama Islam, Qanun ini sayangnya tidak memiliki argumentasi yang cukup. Aneh, jika untuk menegakan HAM justru melakukan pelaanggaran HAM. apakah kita perlu KKR lagi untuk diskriminasi ini?
  • Pasal 2 dalam rancangan Qanun, disebutkan asas “ke-Aceh-an”. Hal ini tidak jelas dan terlihat aneh, mengingat norma ke-Aceh-an hanya hidup dalam budaya keseharian. Jika ingin diabstraksi kedalam atau menjadi norma hukum maka harus dijelaskan rujukan resmi dan batasannya. Kami khawatir, kedepannya, hal ini dijadikan alat intimidasi penguasa lokal di Aceh untuk menekan korban dengan tuduhan “anti-Aceh”.
  • Pada bagian rekonsiliasi (pasal 30 dst-nya) dinyatakan bahwa rekonsiliasi hanya dilakukan pada kasus-kasus yang tidak merupakan pelanggaran HAM yang berat (seperti yang diatur dalam UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu Kejahatan terhadap kemanusia dan Genosida). Namun dalam kenyataan politik hari ini, tidak ada satupun keputusan pengadilan yang menyatakan ada pelanggaran HAM yang berat di Aceh. Artinya, semua kasus di Aceh akan berpotensi direkonsiliasikan termasuk kasus-kasus yang (sesungguhnya) diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat. Hal ini jelas merupakan kecurangan terhadap hak asasi manusia.
  • Dalam tujuannya (pasal 33), rekonsiliasi, tidak mencantumkan hak korban di Aceh, yaitu rekonsiliasi sebagai hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam hak asasi manusia, rekonsiliasi adalah hasil akhir bukan tujuan atau bukan cara kerja. Jika kebenaran diungkap dan korban dipulihkan, maka korban akan mulai percaya diri. Jika proses pengungkapan kebenaran dan pemulihan tidak berjalan maka rekonsiliasi hanya akan menghadirkan posisi yang tidak berimbang. Oleh karenanya rekonsiliasi hanya basa basi belaka untuk menghabiskan dana.

Kami meminta segera perbaiki rancangan tersebut secepatnya dengan mempertimbangkan catatan-catatan diatas. Keadilan atas pelanggaran HAM yang berat tidak lekang oleh waktu dan rezim politik tertentu. Jika DPR Aceh kali ini tidak amanah dalam keadilan, maka waktu lain akan mengoreksi kesalahan DPRA kali ini. Keburu-buruan bukan alasan hukum.

Jakarta, 25 Desember 2013
Badan Pekerja KontraS,

Haris Azhar, MA.
Koordinator