POLRI, Hentikan Rekayasa Kasus!

POLRI, Hentikan Rekayasa Kasus!

KontraS meminta Polri dan jajaran penegak hukum lainnya, untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang signifikan dan progressif untuk mencegah dan memulihkan kasus-kasus demi kasus yang direkayasa. Putusan MA [Mahkamah Agung] akhir-akhir ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi dalam melakukan penyidikan masih mengandalkan pengakuan korban atau pelaku dengan cara-cara penyiksaan dan penyalahgunaan diskresi. Dari berbagai kasus yang diterima KontraS [lihat lampiran] ada banyak petunjuk dan keterangan korban bahwa proses hukum di kepolisian tidak dilakukan secara profesional, dimana ada praktek penyiksaan, ada proses hukum yang tidak diimbangi dengan bukti yang menyakinkan serta tidak ada informasi yang diberikan secara baik ke [keluarga] korban maupun keluarga korban.

Kami berkesimpulan bahwa kewenangan “penegak hukum” yang dimiliki oleh Polisi sering dijadikan alat yang mudah dan ampuh untuk menarget atau menjadikan seseorang sebagai pesakitan dimata hukum.

Berdasarkan hasil monitoring dan pengaduan yang diterima Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], kami menemukan sejumlah hal yang kerap terjadi dalam rekayasa kasus;

  1. Potensi rekayasa kasus umumnya terjadi pada pertama, kasus Perdata yang dijadikan kasus pidana, misalkan; kasus hutang piutang atau pinjam meminjam menjadi penipuan, pencurian, atau penggelapan, kasus sengketa tanah masyarakat dengan perusahaan menjadi pidana pengrusakan atau penyerobotan, kedua, kasus yang terkait dengan kepemilikan narkoba, karena praktek tangkap tangan seperti razia yang notabene cukup dengan kehadiran polisi, maka sangat rentan direkayasa, ketiga kasus – kasus pembunuhan atau pencurian, dalam kasus ini kesalahan identifikasi pelaku berdampak pada semua proses penyidikan selanjutnya yang penuh rekayasa, karena metode penyidikan yang masih lekat dengan penyiksaan dan minimnya akses bantuan hukum yang memadai bagi Tersangka, keempat ”pemaksaan” sebuah kasus tindak pidana, contohnya adalah kasus – kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, misalkan penetapan Pendeta Palti Pandjaitan dalam sengketa pendirian gereja Filadelphia, atau Deden Sudjana sebagai tersangka penganiyaan padahal yang bersangkutan tengah mempertahankan diri [self defence].

Secara umum tindak pidana yang rentan di jadikan justifikasi untuk kriminalisasi atau rekayasa kasus diantaranya pencurian, kepemilikan, penguasaan atau penyalahgunan narkotika, pembunuhan, penyerobotan dan pengrusakan.

Sementara itu, latar belakang “kelas” sosial masyarakat juga menjadi bagian penentu potensi terjadinya rekayasa kasus dan/atau kriminalisasi terhadap seseorang. Terdapat tiga kategori, pertama, masyarakat miskin, tidak punya atau tidak bisa mendapatkan informasi, akan dengan mudah menjadi sasaran rekayasa kasus alis dikriminalkan. Kedua, adalah kelas menengah, jika punya punya cukup, bisa mendapatkan informasi [akses lawyer] tapi tidak punya atau bertentangan dengan jaringan “kekuasaan” maka tetap punya potensi terkena rekayasa kasus, dengan sedikit kemungkinan bisa kena pemerasan [kasus Sun Ang]. Ketiga, kelas pertama, masyarakat tidak selalu punya kemampuan mencari informasi [tidak melek hukum] tapi punya uang cukup dan punya akses kekuasaan, justru menjadi kelas yang dilayani oleh penegak hukum.

  1. Praktik Penyiksaan sebagai metode penyidikan dan artikulasi relasi kuasa; penyiksaan yang dilakukan selain sebagai cara pintas untuk mendapatkan pengakuan Tersangka dan/atau Korban, juga menjadi ajang bagi anggota Polisi untuk menunjukan kuasanya. Sehingga korban yang statusnya juga belum tersangka pun, ketika berada di bawah penguasaan polisi rentan menjadi korban penyiksaan. Dalam catatan pengaduan yang diterima oleh KontraS sepanjang tahun 2013 hingga awal Januari 2014, KontraS menerima 9 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan jumlah korban sebanyak 16 orang, 3 orang diantaranya meninggal dunia [lihat kasus penyiksaan di Polres Baubau, Sibolga, Kasus Penyiksaan Danes oleh Polres Tangerang, Kasus Edih Kusnadi, Kasus Sun An dan Ang Ho]
  1. Kriminalisasi sebagai upaya pengimbang laporan dari korban [Un due delay dan diskriminasi penyidikan]; praktik ini terjadi dengan cara laporan korban tentang tindak kejahatan yang dialaminya tidak segera diproses oleh Polisi secara cepat dan professional. Sementara, Polisi bisa dengan cepat menindaklanjuti laporan pihak terlapor yang terkait dengan tindak kejahatan atau pelanggaran hukum yang dialami oleh korban [lihat contoh kasus Ipong, kasus Markus Amtiran]
  1. Penyalahgunaan diskresi; Diskresi merupakan suatu kondisi tertentu dimana sesorang [Polisi] harus mengambil keputusan atas dasar pertimbangan dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya aparat kepolisian diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi, namun dalam prakteknya aparat kepolisian acapkali menyalahgunakan diskresi tersebut, seperti penangkapan dan penahanan yang tanpa disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan, penggunaan kekuatan secara berlebihan, penyalahgunaan alat bukti, salah sasaran dalam melakukan penembakan, kriminalisasi, dan diskriminasi dalam penanganan perkara [lihat contoh kasus Penghilangan dan Penyangkalan terhadap Wildan Saputra oleh Polsek Tanah Abang, kasus Kriminalisasi terhadap Mahasiswa korban pemerkosaan, kasus penembakan warga Luwu, kasus salah tembak di Indramayu]
  1. Tidak ada koreksi terhadap polisi dan pemulihan terhadap korban

Kriminalisasi dan absennya pemulihan korban; kriminalisasi terjadi dengan banyak faktor, diantaranya minimnya skill pembuktian sebuah kasus kejahatan sehingga menyebabkan terjadinya salah tangkap yang berujung dengan kriminalisasi terhadap warga masyarakat yang tidak bersalah. Kriminalisasi juga terjadi karena tidak maksimalnya atau minimnya independensi Polisi, sehingga dengan mudah relasi desakan pihak – pihak tertentu yang memiliki “power” tertentu dapat ditindaklanjuti Polisi. Dan jikapun, korban tidak terbukti bersalah di Pengadilan, Polisi tidak memiliki inisiatif yang kuat untuk terlibat aktif dalam pemulihan hak – hak korban [lihat contoh kasus Syamsul Arifin, kasus Markus Amtiran]

Mekanisme koreksi eksternal cenderung tidak berfungsi [Kompolnas dan Komnas HAM]. Dalam hal ini terdapat sejumlah pengaduan masyarakat yang tidak dapat direspon secara kritis oleh institusi tersebut. Respon yang diberikan hanya bersifat akomodatif dan normatif.

Menolak Bersalah alias tertutup; penghukuman terhadap anggota-anggota yang melakukan praktik-praktik kriminalisasi/rekayasa kasus tidak dianggap sebagai suatu tindak kejahatan pidana, hal ini merujuk beberapa statmen pihak kepolisian yang cenderung melindungi anggota dan institusinya. Pimpinan Polri sering memilih bertempur dimedia untuk menyatakan anggotanya tidak bersalah daripada memaksimalkan tenaga dan usahanya untuk menempuh mekanisme koreksi menguji dugaan rekayasa yang ada. [lihat contoh kasus kematian Aslim Zalim ditahanan Polres Baubau yang direndam aparat kepolisian]

 

Berdasarkan pada pemaparan persoalan diatas, KontraS mendesak:

Pertama, Meminta Presiden, DPR RI dan Institusi penegak hukum lainnya untuk secara serius memeriksa aturan, kapasitas individual penegak hukum dan mekanisme koreksi yang potensi digunakan untuk memeriksa dugaan rekayasa kasus.

Kedua, Polri mengedepankan akuntabilitas dan keterbukaan institusi dengan melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap anggota polisi yang melakukan tindakan – tindakan tersebut diatas.

Kedua, DPR memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap kinerja Polri dan Kompolnas, khususnya dalam persoalan 8 pola sebagaimana disebutkan diatas.

 

Jakarta 12 Januari 2013
Badan Pekerja, KontraS

Yati Andriyani, Kadiv Advokasi dan HAM
Arif Nur Fikri, Staf Advokasi dan HAM

Lampiran : DATA PENGADUAN REKAYASA KASUS (KRIMINALISASI) 2012 – 2013