BEKERJA UNTUK HAM

BEKERJA UNTUK HAM

Konsep Ngwongke, Memanusiakan, Rakyat Oleh Joko Widodo Akan Menarik Diuji Dalam Konteks Hak Asasi Manusia Di Indonesia Setelah Dia Dilantik Menjadi Presiden Pada Oktober Nanti. Ada empat cara melihat persoalan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Pertama, secara sosiologis, HAM kerap mendapat pelanggaran dan dikerdilkan nilainya. Sepanjang sejarah kemerdekaan, Indonesia memiliki pengalaman penderitaan dan perendahan martabat manusia serta kerugian hak yang signifikan. Dimulai dari kekerasan, rekayasa peradilan, diskriminasi dan stigma negatif, perampasan lahan dan perusakan lingkungan, hingga buruknya akses publik (kesehatan dan pendidikan).

Laporan sejumlah otoritas HAM di PBB menggambarkan dengan baik persoalan kemanusiaan di Indonesia. Dewan HAM PBB pada 2012 memberikan sejumlah catatan, di antaranya soal ketiadaan perlindungan kelompok minoritas agama dan keyakinan, buruknya kondisi pembangunan dan penegakan hukum serta keamanan di Papua, dan ketiadaan keadilan atas kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Komite HAM PBB (2013) yang bertugas melakukan evaluasi atas kinerja Indonesia dalam hak sipil dan politik antara lain menyatakan bahwa negara harus menuntaskan kasus Munir. Komite juga menyimpulkan ada persoalan ketakpahaman konsep hak sipil dan politik pada banyak pejabat dan penegak hukum di Indonesia. Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) pada Juni lalu menyebutkan, pembangunan pelayanan sosial di daerah tertinggal dan kepulauan kecil sangat memprihatinkan.

Tanpa koreksi tanpa malu

Kedua, secara psikologis keadilan. Sejarah pelanggaran HAM jauh lebih konsisten berulang daripada upaya penyelesaiannya di Indonesia. Situasi ini membuat korban secara jumlah terus bertambah. Jumlah manusia Indonesia yang harus disiksa dalam proses hukum perlahan-lahan meningkat. Tanah adat kian dikuasai sektor bisnis sumber daya alam. Ibu meninggal dalam proses kelahiran masih tertinggi di Asia Tenggara. Penderitaan dan kerugian kemanusiaan semakin terinstitusikan, bahkan dianggap sebagai takdir orang lemah atau orang miskin. Hal ini berbanding kontras dengan kondisi para pelaku dari kalangan penguasa dan pengusaha. Mereka semakin kaya, mendominasi dan terus bebas di ruang publik tanpa koreksi dan tanpa malu.

Klaim pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah hari ini pada kisaran 5 persen hingga 6 persen per tahun menjadi tidak relevan buat orang miskin ekonomi dan miskin keadilan. Akibatnya, bagi korban dan masyarakat, kepercayaan pada institusi negara sangat rendah. Masyarakat mengalami inferioritas dari sisi politik. Keadilan dan partisipasi bisa berujung pada amuk seperti dalam beberapa pengalaman di pengadilan, petisi, media sosial, atau demonstrasi. Dari sisi ekonomi, masyarakat mengalami kemiskinan turun-temurun dan mendapat pendidikan yang rendah.

Ketiga, secara konstitusi dan hukum. Hukum di bidang HAM sudah ada sejak era reformasi, tetapi belum dijadikan sumber rujukan bagi perlindungan dan pemenuhan HAM. Dalam ikatan konstitusional itu dijelaskan, kewajiban negara adalah memastikan terpenuhinya hak-hak asasi, seperti nondiskriminasi, hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman.

Negara juga diwajibkan melakukan tindakan pemulihan (legal, sosial, dan ekonomi) secara progresif, baik dalam jangka panjang maupun untuk urusan mendesak. Aturan ini juga memastikan adanya partisipasi masyarakat sebagai upaya kontrol kepada pemerintah.
Keempat, cara edukatif. Dalam sejumlah sentimen dan pandangan, hukum dianggap sebagai tindakan balas dendam. Sesungguhnya hukum tidak semata soal balas dendam. Ada banyak aspek di balik upaya penegakan hukum, misalnya soal kewibawaan otoritas negara menarik garis batas yang boleh dan yang tidak boleh dalam sebuah hidup bersama, yang dimaksud (pelanggaran) HAM, yang dimaksud kekerasan atau pelecehan, yang dimaksud dengan penegakan hukum, serta cara menjamin hak tanah adat masyarakat.

Sikap tegas negara

Sikap tegas negara akan menandakan negara hadir dengan segala kondisi, saat menguntungkan ataupun situasi penuh risiko. Dalam terminologi HAM, hal ini dikenal sebagai ”pengakuan negara” terhadap masalah yang ada, seberat apa pun. Kemudian, negara memimpin upaya penyelesaian secara adil dan terbuka sehingga semua pihak bisa melihat dan berpartisipasi secara baik. Sikap ini akan memberi pelajaran untuk berani jujur membuka persoalan yang ada, taat pada hukum untuk menyelesaikannya, dan menjunjung tinggi nilai di balik hukum tersebut: soal kemanusiaan.

Bagaimana memulainya? Untuk urusan HAM, yang dibutuhkan Joko Widodo hanya implementasi. Sejumlah prinsip penting diperhatikan. Pertama, prinsip ketersediaan: Joko Widodo harus memenuhi sumber dan infrastruktur memfungsikan program-tindakan di bidang hak asasi (sesuai janji konstitusi), seperti hak atas pangan, akses keadilan, perlindungan properti masyarakat adat. Kedua, prinsip dapat diakses: sumber dan infrastruktur serta tindakan negara berlaku dan dapat diakses semua pihak secara nyaman, apa pun risikonya bagi Joko Widodo dan pendukung politiknya.

Prinsip berikutnya adalah penerimaan: tindakan pemenuhan hak asasi diupayakan sesuai dengan konteks sosial, situasi yang ada, dan memperhatikan kapasitas sumber daya tanpa harus mengurangi hak-hak yang fundamental. Terakhir adalah prinsip kesesuaian: praktik dan kebijakan pemerintah patut mampu mengikuti tuntutan perkembangan dan kebutuhan ideal dalam masyarakat ataupun komunitas (Landman and Carvalho, 2010).

Kita akan lihat nanti apakah Indonesia akan bergerak maju dalam HAM bersama Joko Widodo.

Haris Azhar
Koordinator Kontras