Jejak Cak Munir di Aceh

Jejak Cak Munir di Aceh

Setiap tanggal 7 September, di seluruh penjuru negeri, bahkan di luar negeri orang-orang mengenang kematian Cak Munir. Saya pun ingin mengingat sosoknya lewat tulisan ini. Sosok yang memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya perdamaian di Aceh.

Sembilan tahun  lalu, tepatnya 8 September 2005, KontraS Aceh mengadakan seminar bertema ‘Peran Munir untuk Perdamaian Aceh’. Dalam tulisan sederhana ini, saya hanya ingin menggambarkan bagaimana peran Munir bagi Aceh, dari sudut pandang sejumlah orang. Aceh, yang pernah mengalami konflik bersenjata yang menelan nyawa manusia dan harta benda sejak rezim Orde Baru (Soeharto) hingga era Megawati, sangat pantas memberi penghormatan pada jasa Munir. Pasalnya, Munir telah berkontribusi besar untuk Aceh.

H Waisul Qarani Ali (Wakil Ketua DPRD Aceh), salah seorang pembicara dalam seminar tersebut, mengatakan bahwa peran Munir seperti memecahkan buah kelapa yang di dalamnya bertumpuk berbagai macam persoalan. Kita bisa lihat berbagai macam persoalan yang terjadi pada era 1990an dan reformasi. Munir berani menguak masalah tersebut sehingga mengemuka. Perdamaian ini terjadi karena ada proses yang saling berkait. Seandainya tidak ada Munir dengan gebrakan HAM yang dikumandangkannya, tidak tahu apakah perjanjian Helsinki bisa terujud.

Senada dengan Waisul Qarani, seorang pembicara lain dari kalangan akedemisi yaitu Dr Iskandar A Gani SH MHum, mengakui bahwa Munir berhasil mengungkap semua kasus pelanggaran HAM di Aceh sehingga mata dunia internasional melihat Aceh. Dengan adanya perhatian dunia, persoalan Aceh menjadi persoalan tingkat internasional. Perdamaian ini tentu tidak terjadi begitu saja. Secara fisik dan psikis, sebelum 26 Desember 2004, rakyat Aceh sudah tersiksa dengan berbagai tindak kejahatan kemanusiaan dan ditambah lagi dengan bencana alam yang menjadi sorotan dunia.

Jasa Munir dalam membela korban kejahatan kemanusiaan di Aceh juga terekam erat dalam ingatan para korban. Pada suatu hari, ketika saya datang ke pesantren Babul Al-Nurillah untuk membantu memperingati Tragedi Beutong Ateuh, seorang santri berkata tentang Munir pada saya. “Bagi kami, Munir adalah pahlawan. Ia sangat berjasa pada kami.” Sebagaimana kita tahu, Munir adalah orang yang menyuarakan dan mengecam terjadinya pembantaian di Beutong Ateuh pada Juli 1999.

Hari ini, MoU Helsinki sudah 9 tahun ditandatangani. Proses itu tidak terjadi begitu saja. Kalau tidak ada yang membangunkan tentu tidak akan terjadi. Dan hari ini kita benar-benar harus menghargai satu pengorbanan. Kita melihat apa yang telah dilakukan Munir. Ia telah mengungkapkan kasus besar yang kerap membuat orang takut.

Kini, sudah kita rasakan nikmatnya perdamaian. Sementara Munir telah tiada. Munir dan para pejuang lainnya telah melakukan ini dengan taruhan nyawa. Berbagai masalah telah terbongkar. Kita (Aceh) dan masyarakat Indonesia berhutang pada Munir dan para pejuang yang telah menisbahkan hidup matinya untuk perjuangan dan perdamaian Aceh. Seharusnya setiap memperingati perdamaian, Aceh juga mesti mengingat jasa mereka.

Selain itu, sebagai bentuk penghormatan kepada Munir dan para pejuang serta korban, sudah saatnya Pemerintah Aceh membangun museum atau monumen di Aceh.  Sementara itu, kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, kita berharap keberanian mereka membongkar tabir hitam kematian Munir dan menegakkan hukum seadil-adilnya.

Di sisi lain, kita harus sadar bahwa saat ini ketidakadilan juga masih berlangsung di mana-mana. Hak-hak para korban masih jauh dari kenyataan. Jurang antara yang kaya dengan yang miskin semakin dalam. Penegakan hukum masih timpang dan refresif. Apakah kondisi seperti ini kita biarkan begitu saja?.

Mengutip pernyataan Rufriadi (almarhum), “Aceh butuh orang yang punya mentalitas dan sikap seperti Munir. Semangat, roh dan ide-idenya harus kita perjuangkan dalam mengisi proses perdamaian, di mana kita bisa bernafas lebih panjang dan bisa hidup dengan aman dan damai.”
Mantan Direktur LBH Banda Aceh itu menggambarkan Munir sebagai seseorang yang sangat konsisten dan berkomitmen terhadap pilihan yang ia jalankan. Ketika dalam proses tekanan dan momentum hilang, orang banyak beralih, tapi Munir tetap konsisten.  Sangat langka melihat orang yang bermain di level gagasan dan melahirkan kebijakan, juga terlibat sampai level kerja-kerja lapangan.  

Advokasi kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Munir diakui luar biasa. Ia berani bicara tidak hanya dalam situasi terbuka di mana orang bebas bicara, tetapi juga dalam situasi tertutup dan penuh tekanan pun Munir berani. Dia selalu berbicara berdasarkan data dan fakta yang akurat serta valid dengan analisa-analisa yang tajam. Selain berani dan cakap. Munir juga menginspirasi banyak orang.

Munir adalah model atau suri tauladan yang pantas ditiru oleh aktivis HAM atau oleh siapa pun yang ingin berjuang menciptakan perubahan yang lebih baik. Di tengah popularitas yang dimilikinya, ia tetap rendah hati. Tidak pernah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

7 September 2014, tepat satu dekade Munir mangkat. Memperingati kematian Munir sangat penting, tapi jauh lebih penting menghormati dan meneruskan apa yang telah ia lakukan. Seperti penggalan bait Puisi Ninik Indarni (Perhimpunan Solidaritas Buruh) “Mampukah kamu lanjutkan kembali//Perjuangannya untuk negeri ini//Mampukah kamu turuti kata hati//Merdekakan nurani dengan harga mati.

Semoga ruhnya tetap hidup dalam jiwa-jiwa para pemberani. Tetap ada dan terus berlipat ganda. Karena melawan ketidakadilan dan menyelamatkan manusia dari tindakan zalim manusia serta melakukan perubahan ke arah yang lebih baik merupakan pekerjaan mulia yang diridhai Tuhan Yang Maha Kuasa. (op)

(Feri Kusuma, Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KontraS)