Peluncuran Koin Peduli untuk Pembetukan Pengadilan HAM Ad Hoc

Siaran Pers 15 Tahun Semanggi II (23-24 September 2014)
Peluncuran Koin Peduli untuk Pembetukan Pengadilan HAM Ad Hoc

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan keprihatinan atas pernyataan Andi Widjajanto, Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kall (JKW-JK), mengenai tidak mungkinnya Pengadilan HAM Ad Hoc dilaksanakan dalam waktu dekat nanti. Selain mengakui bahwa isu HAM, terutama pelanggaran HAM berat masa lalu, tidak menjadi prioritas kerja Tim; Andi juga mengatakan bahwa Negara tidak memiliki dana untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc pada tahun 2015, sebagaimana pernyataan Andi tersebut dikutip oleh The Jakarta Post tanggal 16 September 2014:

“Setting up such a court need funds and the 2015 draft state budget does not allocate any for that purpose. A bill needs to be passed first and then funds can be allocated in the revised budget next year…” [Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc memerlukan biaya dan RAPBN 2015 tidak mengalokasikan dana untuk tujuan tersebut. Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM Ad Hoc ini harus disetujui terlebih dahulu, baru kemudian anggaran untuk Pengadilan HAM Ad Hoc dapat dimasukan dalam revisi anggaran tahun depan.]

Pernyataan tersebut sangat kontradiksi dengan komitmen Presiden terpilih JKW-JK yang telah disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Dalam visi dan misinya dinyatakan ““Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.”

Berdasarkan hal tersebut kami memberikan kritik dan masukan atas pernyataan deputi Tim Transisi perihal anggaran untuk Pengadilan HAM Ad Hoc;

Pertama, bahwa selama ini pengajuan anggaran Pengadilan khusus Niaga/HAM/Tipikor masih menjadi satu dengan Pengadilan Negeri. Anggaran yang diterima selama ini oleh Pengadilan Negeri merupakan anggaran bersama yang juga dialokasikan untuk pengadilan khusus lainnya;

Kedua, merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 53/2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk Peristiwa Tanjung Priok dan Timor-Timur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3; “Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pembentukan dan pengadaan sarana dan prasarana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.” Beban pembiayaan bisa dialokasikan ke kementerian terkait apabila merujuk ke Keppres Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah dibentuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid saat itu;

Ketiga, persoalan hambatan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat selama ini terkendala oleh Jaksa Agung yang tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan dengan tidak berdasar pada alasan hukum sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal anggaran Jaksa Agung untuk Program Penanganan Perkara Pidana Khusus, Pelanggaran HAM yang Berat, dan Perkara Tindak Pidana Korupsi meningkat setiap tahunnya. Sebagai perbandingan anggaran ditahun 2011 sebesar 2.336.375.000 dan ditahun 2012 sebesar 6.238.578.000. Anggaran tersebut secara khusus dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat patut dipertanyakan karena didalam laporan tahunan Kejaksaan Agung tahun 2011 tidak ada penuntutan pelanggaran HAM yang berat (0 perkara);

Keempat, penegakan Hukum dan HAM adalah amanat dari Konsitusi yang dituangkan ke dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan menjadi tanggungjawab Pemerintah terutama Presiden sebagaimana bunyi pasal Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. ”

Dengan demikian tidak ada alasan Pengadilan HAM Ad Hoc tidak bisa dibentuk di tahun 2015. Modal untuk membentuk Pengadilan tersebut bukan hanya terletak pada biaya atau anggaran, modal utama adalah keberanian secara hukum dan politik untuk membentuk Keppres terlebih dahulu atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat yang selama ini terus diabaikan penuntasannya. Terlebih pembentukan Keppres adalah kewajiban hukum Presiden sebagaimana Pasal dan Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM.

Jika negara tidak mampu untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc di tahun 2015 karena persoalan anggaran, maka kami bersama masyarakat sipil lainnya akan menggalang koin untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada publik yang memiliki perhatian serius terhadap penegakan hukum dan HAM. Sebagaimana dilakukan oleh Presiden terpilih ketika membutuhkan biaya kampanye dengan menggelar donasi publik melalui rekening bank.

Bertepatan dengan momentum 15 Tahun semanggi 2 (23-24 September 1999) kami mendorong agar Tim Transisi benar-benar menerima masukan yang sudah disampaikan oleh korban dan masyarakat sipil untuk mendorong Penyelesaian kasus Pelanggaran HAM yang berat melalui proses hukum agar disampaikan secara komprehensif kepada JKW-JK sebagimana maksud dan tujuan dibentuknya Tim Transisi oleh Joko Widodo yaitu untuk merumuskan kebijakan sebagaimana tertuang dalam visi dan misinya.
Pada akhirnya kami bertanya kepada Presiden terpilih, “Mas Joko, Berani Nggak?”

Jakarta, 20 September 2014

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM yang Berat