Masa Depan dan Dilema HAM di Indonesia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah indikator penting dalam tata kelola negara, terutama dalam hubungannya dengan setiap individu. Dalam hubungan antar negara, secara global, HAM menjadi komitmen bersama secara terbuka dengan ditandai munculnya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), sejak 1948. Deklarasi ini disusun oleh berbagai pakar dibidang hukum, budaya dan tokoh kemanusiaan dari berbagai negara sejak pertengahan era 40-an hingga disahkan pada 1948. Deklarasi ini disusun dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, dan sejarah kemnusiaan yang pernah terjadi.

Dari deklarasi ini tergambar, pertama, upaya untuk melindungi integritas kemanusiaan. Kedua, memastikan bahwa negara sebagai pemegang tanggungjawab untuk memastikan setiap orang berdiri secara setara dan terlindungi.

Pada sejarahnya, DUHAM muncul sebagai upaya untuk membangun demarkasi yang tegas dengan perang dan permusuhan antar negara yang meluluh lantahkan kemanusiaan pada perang dunia I dan II. Sementara pada perkembangannya, berbagai instrumen dan alat kelengkapan disusun, bahkan berbagai inisiatif terbentuk seperti mekanisme perlindungan ham ditingkat regional, seperti mekanisme HAM Eropa, Afrika dan Amerika Latin.

Ironisnya, perkembangan positif ini tidak serta merta memperbaiki kondisi kemanusiaan diberbagai belahan dunia. Permusuhan dan pola pelanggaran HAM menemukan format baru. Penjajahan dan penundukan berubah menjadi represi dan korupsi agenda pembangunan oleh negara ke rakyatnya. Pembunuhan tetap terjadi, perusakan lingkungan berimbas pada ketahanan hidup masyarakat adat, akses air bersih memburuk akibat polusi industri, perlawanan dibalas dengan penghilangan orang, dan berbagai daftar panjang lainnya. Hubungan antar negara tetap tegang, perang masih terjadi. Untungnya, situasi ini tetap menjadi perhatian bagi mekanisme-mekanisme HAM yang terbentuk. Bahkan menumbuhkan keseriusan untuk menjadikan HAM sebagai core pendidikan secara akademik, hingga menjadi standar kepekaan ditingkat lokal masyarakat dan disuarakan dalam berbagai bentuk ekspresi budaya dan seni. HAM telah menjadi bahasa [keresahan] publik.

Situasi diatas membuat kesadaran akan HAM semakin meluas dikalangan masyarakat dan individu yang terkena dampak dari kebijakan negara dan tindakan-tindakan yang brutal, korup dan tidak partisipatif. Tindakan-tindakan ini tidak hanya datang dari negara, akan tetapi bisa terjadi oleh pihak-pihak yang berkuasa disektor bisnis atau sektor keamanan, seperti perusahaan-perusahaan dan kelompok-kelompok para militer. Mereka disebut sebagai aktor non negara. Aktor-aktor ini memiliki kemampuan diluar batas warga biasa, mampu memobilisir diri, dan kebijakan serta tindakannya memiliki dampak kerugian dan penderitaan pada masyarakat luas. Pelanggaran HAM tidak lagi dilihat sebagai kesalahan negara saja, melainkan diperluas pada aktor-aktor yang memilliki kekuasaan.

Dari berbagai peristiwa atau pelanggaran HAM tersebut manusia kerap ringkih dan merugi, tidak memiliki daya tahan yang cukup. Oleh karenanya, peran  HAM adalah sebagai ‘kabar’ bahwa ada batas tindakan-tindakan bisa dilakukan oleh siapapun terutama yang berkuasa, dan ada batas tindakan tidak boleh dilakukan. Kemudian, HAM harus dilihat sebagai ‘konsekwensi’, jika setiap actor, negara maupun negara, gagal melakukan perlindungan ata bahkan terlibat langsung ada harga yang harus dibayar. Misalnya pengadilan!

DIsatu sisi, kesadaran masyarakat meningkat, mekanisme akuntabilitas meluas, namun masih banyak negara masih kerap kedap dan abai pada persoalan perlindungan warga negaranya. Padahal negara dan otoritas lainnya, memiliki tanggung jawab melindungi setiap individu dari immoralitas dan kehancuran integritasnya. HAM masih dilema dikekang kekuasaan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia tidak lepas dari perkembangan dan dilema HAM diatas. Transisi politik sejak 1998 diyakin sebagai kemajuan demokrasi di Indonesia. Tesisnya selalu diperbandingkan dengan masa orde baru yang represif dan korup. Berbagai mekanisme hukum dan semi hukum dibidang HAM bermunculan. Gawatnya, berbagai pelanggaran tetap saja terjadi, dari mulai kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pada 1999, penembakan mahasiswa, kriminalisasi aktivis, pembunuhan Munir, hingga hari ini berbagai rekayasa kasus oleh satuan-satuan kepolisian dan pengambila allihan lahan untuk kepentingan bisnis dan pembangunan semata, serta berbagai kasus lainnya.

Ukuran-ukuran kemajuan institusional sering dijadikan argumentasi kemajuan HAM. Tren ini dilakukan oleh kementerian luar negeri Indonesia jika membuat laporan perkembangan HAM di forum-forum PBB. Kemajuan-kemajuan ini kerap dijadikan ruang bagi kelompok-kelompok advokasi untuk menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi, atau lebih jauh dari itu, mekanisme-mekanisme ini sering dijadikan ruang rebut banyak kalangan untuk masuk menjadi komisioner dalam mekanisme-mekanisme tersebut. Namun hasilnya dari semua itu tetap sama, tidak memperbaiki kondisi kemanusiaan di Indonesia.

Terdapat sejumah situasi kontemporer yang melekat pada lembaga si pemegang otoritas, utamanya negara. Pertama, Mekanisme pemilihan langsung kepala daerah dan sejumlah pejabat negara berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin yang ‘didukung’ oleh publik. Namun demikian hal ini tetap  tidak menjamin keutuhan nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan terjaga. Justru, sebaliknya, populisme bisa men-daku-kan si pemimpin untuk sewenang-wenang dan seolah sudah disetujui oleh pemilihnya.

Kedua, persoalan pragmatisme ‘gerak cepat’ yang kerap mengaburkan mekanisme atau prosedur. Dalam konsep keadilan dikenal keadilan yang substansial dan prosedural. Keduanya saling terkait. Dalam proses terdapat nilai ‘pengakuan’ kepada si korban ketika dilibatkan secara setara, informatif dan jujur. Hal ini yang disebut sebagai partisipasi. Gerak cepat harus diimbangi dengan prosedur yang tepat, partisipatif, efesien dan transparan. Pendekatan demokratis dan partisipatif tidak sama dengan pendekatan bisnis, dimana semua orang hampir mirip dianggap robot menjalankan tugasnya masing-masing,  serta berada dalam pengawasan kualitas produk semata tanpa ada ruang partisipasi dan opini.

Ketiga, Ketidak pahaman konsep HAM. Negara, lewat berbagai pejabat dan petingginya, sering diambil bagian-bagian yang pentingnya saja. Misalnya, Ahok, melihat problem diskriminasi ketika FPI menolak Gubernur dari warga negara keturunan tionghoa seperti Ahok, namun disisi lain Ahok menyetujui praktek hukuman mati. Demikian pula dengan mantan mitra kuasanya, Joko Widodo yang hari ini menjadi Presiden. Joko Widodo menyetujui penambahan alat kelengkapan keamanan di Papua, Komando Daerah Militer [KODAM] akan tetapi tidak membuat kebijakan yang merubah situasi Papua menjadi lebih damai; Joko Widodo memberikan Grasi bagi Eva Bande pejuang hak atas tanah dari Sulawesi Tengah, namun membiarkan birokrasinya di Kementerian Hukum dan HAM membebaskan secara bersyarat Pollycarpus pelaku pembunuhan Munir.

Keempat, argumentasi HAM sering digunakan untuk menghukum yang lemah. Berbagai tindakan cepat dilakukan oleh Polisi, selama yang dianggap sebagai pelaku berasal dari ekonomi lemah, tidak memiliki psikologi yang mumpuni dan tidak memiliki akses bantuan hukum. Bahkan mereka kerap dapat perlakuan penyiksaan agar mengakui kesalahannya.  Berbeda dengan pelaku dengan ekonomi yang kuat, birokrasi, purnawirawan militer, kalangan politisi atau kelompok yang menggunakan justifikasi agama. Mereka diperlakukan dengan nyaman.

Kelima, last but not least, Hak asasi kerap dipinggirkan oleh argumentasi kedaulatan negara atau nasionalisme. Tuntutan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia sering dituduh sebagai agen asing. Hal ini aneh karena tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM adalah kebutuhan atas pembunuhan yang dilakukan ke manusia-manusia Indonesia. HAM sebagai kesepakatan global sering dianggap tidak pas dengan nilai nasionalisme dan “budaya” Indonesia. Persoalannya kemudian, jika menggunakan argumentasi kedaulatan, dalam konsep hukum kedaulatan tidak sekedar dibatasi oleh batas fisik negara. Kedaulatan juga harus dilihat dari nilai ideologi negara yang ditegakan, seperti kemanusiaan dan keadilan. Maka tidak tepat jika pembela HAM dituduh agen asing karena sesungguhnya pembela HAM adalah pelaksana Pancasila, Ideologi negara. Justru sebaliknya, para penentang HAM adalah anti Pancasila. Sementara menggunakan nilai Budaya pun, masih meninggalkan pertanyaan, budaya yang mana, sesuai adat atau agama yang mana? padahal Indonesia adalah negara yang paling beragam, dari sisi suku, etnis dan agamanya, meskipun negara cenderung tidak mengakuinya.

Contoh-contoh dilema diatas hanya melahirkan praktek belah bambu, menggunakan HAM secara diskriminatif belaka. 

Prediksi
Kedepan, persoalan HAM di Indonesia akan menghadapi persoalan-persoalan diatas, HAM hanya dianggap sebanyak ornamen [pajangan] belaka. HAM akan diberlakukan secara potongan demi potongan tanpa ada kohesi dan integrasi secara keseluruhan. Isu HAM akan direspon selama memberikan perlindungan bagi kepentingan rejim politik dikursi negara, bukan berbasis pada kasus-kasus yang dilaporkan dan endemik ditengah masyarakat. HAM tidak dijadikan dasar dan konsep untuk membangun peradaban dan pembangunan.

Rejim nasional hari ini akan menunjukan praktek seperti dugaan diatas. Pada awalnya masyarakat yang menantikan harapan pemenuhan HAM masih akan bersabar. Kesabaran ini dibungkus oleh akrobat politik blusukan dan ‘sikap tegas-cepat’. Namun akan tiba saatnya deret kekecewaan semakin panjang dan meletup tanpa konstruksi yang diluar mekanisme yang ada. Ekspresi dan Solidaritas diantara warga akan menjadi sasaran pengintaian dari kalangan instrumen-instrumen negara. Bahkan dikriminalkan. Pertarungan bisa menjadi keras pada titik tertentu.

Semoga dugaan ini salah, tapi bersiap tetap perlu dilakukan.

Haris Azhar
Koordinator KontraS