Workshop for Indonesian Lawyers on Safeguards for Fair Trials in Death Penalty Cases

Sudah lebih dari satu bulan dilaksanakannya eksekusi hukuman mati gelombang kedua terhadap 8 orang pada Rabu dini hari, 29 April 2015. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga telah menemukan sejumlah fakta penting terkait dengan kecacatan hukum dalam penerapannya yang membuktikan adanya kegagalan sistem penegakan hukum di Indonesia, yang telah digunakan sebagai solusi dari agenda kedaruratan negara dalam melawan narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia. Temuan tersebut secara lebih lanjut dapat diakses pada siaran pers KontraS 29 April 2015.

Bergerak dari kondisi tersebut dan sebagai upaya menghapuskan kebijakan hukuman mati di Indonesia, KontraS bersama dengan International Commission of Jurist (ICJ) menyelenggarakan workshop untuk pada pengacara dalam memberikan bantuan hukum bagi kasus hukuman mati berjudul Workshop for Indonesian Lawyers on Safeguards for Fair Trials in Death Penalty Cases. Acara berlangsung selama dua hari pada 4-5 Juni 2015 di Hotel Double Tree Hilton, Jakarta Pusat. Sejumlah peserta sebagian besar merupakan pengacara dan juga berasal dari organisasi masyarakat sipil, dan komunitas di Indonesia ( ICJR, Reprieve, Susanto Lawfirm, Bar Council Malaysia, LeIP, LBH Masyarakat, JPIC-OMI, Migrant Care, LBH YAPHI Solo, LBH Jakarta, Somasi NTB, PIAR NTB, KontraS Surabaya, KontraS Medan, KontraS Aceh, LBH Bandung, Humanum, YLBHI, ELSAM, Utomo Karim Lawfirm, MAPPI FHUI, Rudyantho & Partner)

Hari pertama berisi empat sesi yang diawali dengan pembukaan oleh Koordinator KontraS, Haris Azhar dan Emerlynne Gil sebagai Senior International Legal Advisor dari ICJ. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pertama yang mencoba menguraikan kondisi penerapan hukuman mati di Indonesia dan tantangan yang dihadapi ketika berhadapan dengan tuntutan hukuman mati. Sesi pertama diisi oleh Agus Salim dan Aprilina Purba dari Rudhyantho & Partners yang merupakan pengacara Mary Jane Veloso, warga negara Filipina yang berada pada urutan eksekusi gelombang kedua serta Dr. Robertus Robert sebagai akademisi dari Universitas Negeri Jakarta. Sesi pertama kemudian membahas politik dilaksanakannya hukuman mati di Indonesia termasuk tren, opini publik, sentimen nasionalisme, inkonsistemsi pemberian grasi, pentingnya memperkuat basis gerakan buruh anti hukuman mati serta kejanggalan kasus Mary Jane Fiesta Veloso berupa fakta-fakta, proses peninjauan kembali perkara, jurisprudensi, serta bentuk dukungan regional-internasional.

Sesi kedua membahas hukuman mati sebagai bentuk pelanggaran hukum HAM internasional dan tekanan untuk menghapus hukuman mati di Indonesia. Sesi ini diisi oleh Haris Azhar dari KontraS yang menjelaskan upaya yang dilakukan oleh para pengacara dan jaringan masyarakat sipil di Indonesia dalam memberi tekanan pada pemerintah untuk menghapus hukuman mati. Selanjutnya sesi ini diisi oleh Emerlynne Gil dari ICJ yang menjelaskan bagaimana hukuman mati melanggar hukum internasional. Sesi kedua memantik ruang diskusi mengenai penguatan arena advokasi nasional seperti dalam tahap vonis dan eksekusi, menjabarkan masalah penegakan hukum dari hulu ke hilir, bentuk penyiksaan yang terjadi, pembelajaran pada arena pendampingan hukum, edukasi masyarakat serta kampanye. Kemudian sesi ini juga memantik diskusi akan potret hukuman mati dari sudut hukum internasional yang menautkan hak atas hidup dengan ICCPR, jus cogens, costumary international law, serta penyiksaan, tindakan kejam dan tidak manusiawi lainnya.

Sesi ketiga kemudian membahas mengapa hukuman mati tidak efektif memberikan efek jera pada kejahatan narkotika. Sesi ini diisi oleh Anggara, Ketua Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Claudia Stoicescu sebagai akademisi PhD kandidat dari Universitas Oxford. Sesi ini kemudian memaparkan data statistik yang bisa digunakan untuk advokasi hukuman mati seperti kehadiran saksi mahkota, proporsi pemberian hukuman mati dari PN, PT, MA, memperkuat revisi KUHAP, KUHP, RUU bukti dan pembuktian serta membongkar mitos kedaruratan narkotika nasional yang digunakan untuk membenarkan eksekusi hukuman mati.

Sesi keempat membahas mengenai peran pegacara dalam memastikan diberikannya perlindungan dan bantuan hukum bagi mereka yang mendapat tuntutan hukuman mati. Sesi ini diisi oleh Atty. Jun Viterbo dari Free Legal Assistance Group (FLAG), sebuah organisasi advokasi anti hukuman mati di Filipina yang menjelaskan bagaimana Pemerintah Filipina pada akhirnya bisa menghapus hukuman mati. Jun Viterbo kemudian memberikan contoh kampanye di Filipina termasuk cara memperkuat gerakan sosial dengan menitikberatkan para terpidana mati, kelompok gerakan keagamaan, menghubungkan dengan arena internasional (PBB) mendorong pemerintah untuk meratifikasi 2nd optional protocol ICCPR, dan mendorong parlemen dan eksekutif untuk melahirkan UU anti hukuman mati.

Hari kedua Workshop dimulai dengan sesi kelima yang membahas langkah-langkah kedepan yang bisa ditempuh Indonesia, terutama strategi untuk para pengacara dalam mengadvokasi penghapusan hukuman mati. Sesi paling terakhir ini diisi oleh Jun Viterbo dari Free Legal Assistance Group (FLAG) dan Dato’ Ramachelvam Manimuthu dari Bar Council Malaysia. Viterbo memberikan beberapa strategi seperti harus mampu berpikir out of the box, kreatif dalam hal kampanye, melibatkan banyak pihak terutama tokoh agama, keluarga terpidana, tokoh masyarakat, bahkan artis, mempublikasikan temuan dan hasil penelitian, dan mengedukasi para terpidana hukuman mati agar dapat menjadi paralegal bagi dirinya sendiri.

Setelah semua sesi workshop berakhir, para pengacara beserta perwakilan komunitas dan organisasi masyarakat sipil berdiskusi mengenai rencana tindak lanjut yang akan dilakukan, terutama mengenai pencegahan dan advokasi jika akan dilaksanakannya eksekusi gelombang ketiga dalam waktu dekat.