Surat Terbuka Menolak Sutiyoso sebagai Kepala BIN

Hal : Surat Terbuka Menolak Sutiyososebagai Kepala BIN
Kepada Yang Terhormat,
Ketua Komisi I DPR RI
Drs. Mahfudz Siddiq, M. Si
Di –
Tempat 

Dengan hormat,

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso sebagai calon tunggal Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).  Untuk itu kami meminta Komisi I DPR RI, sebagai mitra kerja pemerintah dibidang pertahanan dan luar negeri, untuk memeriksa dan menolak pencalonan tersebut. 

Berdasarkan UU Intelijen, Nomor 17 tahun 2011, pada BAB VII diatur soal Badan Inteiljen Negara [BIN], dari mulai memberikan informasi ke Presiden untuk pengambilan kebijakan hingga memiliki kewenangan melakukan koordinasi intelijen dengan institusi lainnya. Jikakemudian BIN dipimpin oleh seseorang yang memiliki rekam jejak kontroversial dan patut diduga terlibat dalam berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, maka khawatir kepemimpinannya akan dijadikan alat untuk meniadakan proses hukum, pengungkapan kebenaran dan pemulihan kondisi para korban. Demikianlah yang patut dikhawatirkan dengan pencalonan Sutiyoso. Sebagaimana dalam catatan KontraS, nama Sutiyoso terkait dengan berbagai kasus sebagaimana disebutkan dibawah ini; 

1. Penembakan 5 (lima) jurnalis Australia yang dikenal dengan kasus Balibo Five (1975);
2.
Operasi Flamboyan dan Seroja di Timor Leste (1975); 
3. Operas Militer Penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (1978); dan
4.
Penyerangan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli (1996).

Tidak seharusnya seorang presiden mempercayakan suatu lembaga strategis, kepada seseorang yang berpotensi menghalangi tercapainya Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah [RPJM] terkait dengan penegakan hukum dan HAM. 

Penunjukkan Kepala BIN adalah hak prerogatif Presiden, akan tetapi keputusan memilih Sutiyoso sebaga icalontunggal telah menyalahi asas penyelenggaraan intelijen yang tercantum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, khususnya Pasal 2 huruf f tentang netralitas atau ketidak berpihakan BIN terhadap pengaruh manapun. Selain diduga terlibat kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, Sutiyoso jugamerupakan ketua umum atau setidak-tidaknya mantan petinggi DPP Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Pengalaman serupa pernahter jadi di Indonesia, ketika masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dimana Hendropriyono ditunjuk menjadi Kepala BIN. Hendropriyono, patut diduga terlibat dan dimintakan pertanggung jawabannya dalam kasus Talangsari 1989, dimana lebih dari 200 orang perempuan dan anak-anak menjadi korban, juga peristiwa mobilisasi pro Indonesia di Timor Leste yang berujung pada kejahatan terhadap kemanusiaan. Kepemimpinan Hendroproyono dalam BIN telah digunakan untuk menjalan operasi pembunuhan terhadap Munir, pekerja hak asasi manusia, yang membongkar kasus Talangsari Lampung (1989) dan kasus Timor Leste(1999). 

KontraS mengingatkan dan mengetuk hati Komisi I DPR RI, untuk membuka diri dan memahami kebutuhan perbaikan negari dan bangsa Indonesia. Kita bisa melihat pengalaman dari sejumlah negaralain nya, yang juga mengalami transisi dari rezim otoritarian seperti Indonesia, guna membatasi para pelanggar HAM untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan adalah dengan menerap kanmekanisme “vetting”—yang terdiriatas menyaring (screening) dan mencegah (barring), hingga memindahkan posisi (removal) pejabat publik yang diketahui memiliki rekam jejak HAM buruk, serta memurnikan (purging) institusi-institusi negara yang dianggap memiliki peranan strategis, termasuk sektor pertahanan dan keamanan.

Untuk itu, kami mendesak agar Komisi I DPR RI berani menolak usulan PresidenJoko Widodo agar dalam pencalonan Sutiyoso sebagai Kepala BIN, dengan cara, salah satunya, menjadikan kapasitas track record penghormatan terhadap hukumdan HAM calon sebagai pertimbangan utama dalam menunjuk penggantinya.

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Jakarta, 22 Juni 2015
Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar
Koordinator