Peluncuran Laporan Penyiksaan dan Diskusi Publik:
Peningkatan Peran Negara Untuk Penghentian Praktik Penyiksaan dan Perlindungan Bagi Korban

Peluncuran Laporan Penyiksaan dan Diskusi Publik:
Peningkatan Peran Negara
Untuk Penghentian Praktik Penyiksaan dan Perlindungan Bagi Korban

Memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juni, KontraS menerbitkan laporan penyiksaan Praktik Penyiksaan Tahun 2014-2015: Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia. Laporan yang secara rutin dikeluarkan setiap tahun ini mencatat sepanjang bulan Juni 2014 hingga Mei 2015, terdapat 84 angka penyiksaan. Laporan tersebut juga menempatkan Polri pada peringkat pertama sebagai pelaku, disusul oleh Sipir, dan TNI. Laporan dapat diunduh pada: http://kontras.org/buku/isi_laporan_praktik_penyiksaan_2014_2015.pdf

Bersamaan dengan peluncuran laporan penyiksaan, KontraS menyelenggarakan diskusi publik di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat pada Hari Kamis, 25 Juni 2015. Diskusi yang terbuka untuk umum tersebut mengundang para perwakilan pemerintah, jurnalis, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, serta keluarga korban penyiksaan di Indonesia.

Acara dibuka oleh Koordinator KontraS, Haris Azhar yang menyebutkan laporan ini adalah kali kelimanya KontraS mengeluarkan publikasi atas bentuk praktik penyiksaan di Indonesia. Ia kemudian menjelaskan apa yang menjadi sorotan KontraS dalam laporan tersebut. Kemudian sambutan dari Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, SH, MH, yang mengapresiasi laporan KontraS dan menyatakan akan menindaklanjuti temuan KontraS terkait tindak penyiksaan yang terjadi di lingkup Kementerian Hukum dan HAM. Kata sambutan tersebut kemudian ditutup dengan penyerahan laporan penyiksaan KontraS kepada Dirkrimum Polda Metro Jaya dan Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM.

Acara kemudian dilanjutkan dengan Diskusi Publik yang narasumbernya berasal dari perwakilan instansi pemerintah terkait, yaitu Kombes (Pol) Krishna Murti dari Dirkrimum Polda Metro Jaya, Ida dari Kementerian Hukum dan HAM, Lili Pintauli dari LPSK, Budi Santoso  dari Ombudsman RI, Iwan Ong Santoso dari perwakilan jurnalis, Suhudin dari perwakilan keluarga korban penyiksaan, dan Puri Kencana Putri dari KontraS. Narasumber pertama adalah Puri Kencana Putri dari KontraS yang memaparkan isi laporan penyiksaan. Puri mengungkapkan bahwa kebanyakan pelaku di dalam internal hanya diberikan sanksi etik. Hal ini menjadi tanggung jawab negara untuk membuat efek jera terhadap pelaku, termasuk juga tanggung jawab pemulihan hak korban. Kasus penyiksaan tidak berdiri sendiri karena juga terkait dengan kebijakan yang diambil oleh negara, salah satunya adalah praktik hukuman mati terutama pada kasus Rodrigo Gularte, Zainal Abidin, dan Yusman Telaumbanua atau Ucok. Praktik tersebut menyebabkan munculnya Death Row Phenomenon dimana terjadi penyiksaan akibat proses tidak transparan pada ruang penyidikan hingga vonis.

Narasumber kedua, Kombes (Pol) Krishna Murti mengakui adanya praktik penyiksaan di Indonesia. Ia menganggap hal tersebut didasarkan pada tindakan kondisional yang diambil Polri pada saat kondisi yang menimbulkan ambiguitas antara perlindungan warga dengan tersangka. Mereka yang melakukan penyiksaan adalah mereka yang tidak punya kapasitas untuk mencari bukti-bukti yang ada tetapi mengalami tekanan dalam pekerjaan sehingga praktik penyiksaan dilihat sebagai jalan pintas pencarian bukti. Ia meminta agar memaklumi kondisi penyiksaan sebagai ekses institusi kepolisian dapat melakukan perubahan dan meminta hal ini menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya kepolisian, dalam memperbaiki dirinya, anak buah, dan pimpinan.

Narasumber ketiga, Ibu Ida dari Kementerian Hukum dan HAM memaparkan draf awal RUU tentang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Sambil memaparkan isi draft tersebut, ibu Ida juga mengenalkan tim penyusunan RUU yang juga hadir dalam acara diskusi. Pada akhir pemaparan, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memohon adanya masukan dari pihak KontraS dan pihak manapun dalam rangka menyempurnakan RUU

Narasumber selanjutnya adalah Ibu Lili Pintauli dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Ia menyatakan bahwa LPSK tidak hanya bergerak atas dasar pengaduan, tetapi juga mencoba proaktif “menjemput bola”ketika ada kasus yang membutuhkan respons cepat.  Ia kemudian menjelaskan apa yang terjadi pada kasus Atambua, Sijunjung, Pinggan Pasu, dan kasus lainnya.

Narasumber kelima adalah Budi Santoso dari Ombudsman RI yang menyatakan bahwa mereka mencatat terdapat 852 jumlah laporan terkait kepolisian dimana sejumlah 331 laporan terkait perilaku penyidik kepolisian. Ia menyatakan bahwa saat ini Ombudsman juga sedang membuat kajian tentang praktik penyiksaan dalam penyidikan. Temuan awal saat ini menemukan bahwa penyiksaan dalam proses penyidikan menjadi lebih tinggi dibandingkan tindak kekerasan dalam proses penangkapan ataupun penahanan. Saat ini Ombudsman RI telah membuat MoU dengan pihak kepolisian dan terbukti mampu membuat pihak kepolisian di daerah bersikap tegas dan transparan dalam menindaklanjuti anggotanya.

Narasumber lainnya adalah Iwan Ong Santoso, perwakilan jurnalis dari Kompas yang mengungkapkan media coverage yang dilakukan oleh beberapa media sangat rendah dan terkesan disembunyikan untuk beberapa kasus penyiksaan ataupun tindak kejam lainnya, terutama jika pelakunya adalah aparat pemerintah. Beberapa kasus hanya memunculkan keterangan normatif dari militer tanpa klarifikasi lebih lanjut. Kasus bentrokan militer dengan warga terkait tempat pelacuran di Batam yang sempat heboh di kalangan jurnalis juga hanya menjadi kilas dan berita kecil di beberapa media, padahal terdapat 14 warga Batam yang diculik dan dianiaya. Survey litbang Kompas tahun lalu memperlihatkan perspektif publik terhadap militer sangat positif, ini bisa terjadi karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Narasumber terakhir adalah Suhuddin, anggota Polri aktif sejak medio 80-an, yang adalah bapak dari putra yang meninggal akibat penyiksaan pihak kepolisian, rekan kerjanya yang ia kenal. Ia kemudian menceritakan bahwa putranya yang berumur 16 tahun bersama tujuh temannya dituduh melakukan pencurian sepeda motor. Selama proses penyidikan mereka dipaksa untuk mengaku dan putranya, korban penyiksaan yang paling parah, meninggal dunia. Hal ini terjadi pada 16 Oktober 2011. Sampai saat ini kasus penyiksaan tersebut sudah P-19 sampai 10 kali karena petunjuk jaksa tidak pernah ditaati penyidik. Otopsi telah dilakukan yang membuktikan terdapat kekerasan akan tetapi kasus tersebut terlihat secara sengaja dimandegkan.

Pada akhir diskusi, Tumiso, salah satu penyintas dari Peristiwa 65 menceritakan kepada para tamu undangan bentuk penyiksaan yang dia alami ketika menjadi tahanan politik di Pulau Buru, sekitar 50 tahun silam. Bentuk penyiksaan terhadap korban 65 yang dapat kita temukan pada beberapa buku-buku yang sudah terbit saat ini kemudian diceritakan dan dibuktikan pada para korban secara langsung. Mereka menderita cacat fisik, malaria, sakit liver yang salah satunya akibat kerja paksa, hernia, penyakit kaki gajah (filariasis), hingga gangguan pernafasan. Acara diskusi publik kemudian ditutup dengan buka puasa bersama dengan para pembicara beserta para peserta tamu.