Peringatan Hari Anti Penyiksaan Sedunia:
Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia

Siaran Pers
Peringatan Hari Anti Penyiksaan Sedunia:
Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia
Laporan Situasi Penyiksaan di Indonesia Juni 2014 – Juni 2015

Setiap tahunnya, tanggal 26 Juni selalu diperingati sebagai Hari Dukungan Internasional untuk Korban Penyiksaan atau lebih dikenal Hari Anti Penyiksaan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap isu penyiksaan, selalu menggunakan momentum ini untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas situasi dan penerapan praktik penyiksaan serta model perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Dengan mengambil tema "Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia", laporan ini telah disusun berdasarkan hasil pendokumentasian dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, baik melalui laporan pemantauan dan/atau investigasi kasus, pendampingan hukum terhadap korban dan keluarga korban dan sumber dokumen sekunder lainnya sepanjang Juni 2014 – Juni 2015.

KontraS mencatat selama setahun terakhir, persoalan mendasar dari terus berlangsungnya praktik – praktik penyiksaan di Indonesia dikarenakan Pertama, absennya penegakan hukum yang jauh dari agenda transparansi, akuntabel, jujur dan adil terhadap para pelaku penyiksaan atau praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kedua, kerap digunakannya mekanisme etik (internal) untuk menghadirkan akuntabilitas terhadap para pelaku penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, dengan mentitikberatkanpada sanksi administratif sehingga memperpanjang rantai impunitas. Ketiga, terbatasnya pemahaman dari sisi aparat penegak hukum terkait dengan pemenuhan hak-hak korban dan kemampuan institusi penegakan hukum untuk bisa mendorong lahirnya efek jera kepada para oknum. Keempat, rendahnya kapasitas Negara untuk mau mempercepat proses revisi atas peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait dengan pasal-pasal penghukuman terhadap praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya. Dan Kelima, rendahnya kemauan Negara untuk mempercepat proses pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Penyiksaan, mengingat telah lewat 1 dekade pemerintah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) namun hingga kini belum ada langkah mempercepat RUU tersebut.

Adapun pelaku penyiksaan masih didominasi oleh Kepolisian RI yang tercatat telah melakukan 35 tindakan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya. Disusul oleh petugas sipir penjara sebanyak 15 kasus, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebanyak 9 kasus.  Selain ketiga institusi nasional tersebut, KontraS juga mencatat sebanyak 25 hukuman cambuk yang dilakukan oleh aparat Pemda Aceh, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Provinsi NAD terhadap 183 orang. Sementara secara keseluruhan KontraS mencatat jumlah korban tewas akibat praktik penyiksaan yaitu sebanyak 16 orang, korban luka-luka sebesar 262 orang, dan 7 orang terkena dampak lainnya, yakni pelecehan seks, intimidasi dan beragam bentuk pelanggaran hak lainnya.

Sementara itu, KontraS juga melihat bahwa dampak praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut tidak hanya mengakibatkan tidak sahnya alat bukti pengakuan tersangka karena diperoleh dibawah tekanan, tetapi lebih jauh berdampak pada kualitas dari proses hukum itu sendiri yang menjadi buruk. Sebagai contoh, dalam perkara pidana dengan vonis hukuman mati, aparat penegak hukum menggunakan prosedur hukum yang memihak (unfair trial) sehingga vonis yang dijatuhkan berakibat fatal.

Berdasarkan temuan – temuan dalam laporan situasi penyiksaan di Indonesia sepanjang 2014 – 2015 di atas, kami merekomendasikan beberapa hal, diantaranya:

Pertama, Terkait dengan akuntabilitas institusi penegak hukum. Negara harus menghentikan praktik-praktik penyiksaan di Indonesia, termasuk di wilayah – wilayah yang masih memiliki sumbu ketegangan konflik seperti di Papua, Poso dan Maluku. Selain itu, negara harus menyediakan, memastikan dan menghadirkan ruang evaluasi atas peningkatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum dan keamanan khususnya kepolisian dan TNI dalam melakukan tugas pokok dan fungsi pada penyelidikan dan penyidikan, fungsi pemantauan dan kontrol dari proses tersebut sehingga tidak menggunakan jalan pintas dengan menggunakan metode penyiksaan. Mengesahkan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan serta revisi UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer adalah suatu keharusan.

Kedua, Terkait dengan kebijakan untuk pencegahan dan penghentian praktik – praktik penyiksaan.
Pemerintah harus mempercepat proses pembahasan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan menjadi sebuah kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum. Negara juga harus segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa serta Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat ruang akuntabilitas untuk kejahatan penyiksaan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Ketiga, Terkait dengan maksimalisasi peran lembaga pengawasan eksternal. Institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya (salah satunya mekanisme vetting) untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan. Institusi eksternal tersebut harus dipastikan dapat bersinergi dengan institusi negara lainnya (internal) untuk memastikan adanya mekanisme pencegahan, penghukuman atas kejahatan penyiksaan yang masih berjalan, perlindungan kepada saksi dan korban serta pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM Internasional.

Jakarta, 25 Juni 2015
Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, SH., MA
Koordinator