Indonesia: Bebaskan Johan Teterissa dan tahanan nurani lainnya

Indonesia: Bebaskan Johan Teterissa dan tahanan nurani lainnya

Pernyataan bersama Amnesty International, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), LBH Rakyat Maluku dan Humanum

Amnesty International, KontraS, LBH Rakyat Maluku, dan Humanum menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan aktivis politik Johan Teterissa delapan tahun setelah ia ditangkap karena memimpin sebuah aksi unjuk rasa damai di Ambon, Maluku.  Pembebasannya akan konsisten dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 untuk membebaskan semua tahanan politik di Indonesia. 

Johan Teterissa ditangkap pada 29 Juni 2007 setelah ia dan 22 aktivis lainnya terlibat dalam sebuah aksi unjuk rasa damai di depan Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, yang menghadiri sebuah upacara resmi untuk Hari Keluarga Nasional di kota Ambon, ibukota provinsi Maluku. Pada saat upacara berlangsung, Johan Teterissa memimpin aktivis-aktivis lainnya – yang kebanyakan adalah para guru dan petani – masuk ke lapangan dan mempertunjukan sebuah tarian perang tradisional di depan Presiden. Pada akhir tarian tersebut, para aktivis membentangkan bendera “Benang Raja” – sebuah simbol kedaerahan yang dilarang.

Polisi dan pengawal kepresidenan meresponnya dengan menahan mereka dan juga memukuli dan meninju mereka dengan popor senapan begitu mereka tidak terlihat dari pandangan Presiden. Ke 22 aktivis tersebut kemudian disiksa oleh polisi – termasuk para aparat dari unit anti-teroris (Densus-88) – selama masa penahanan dan interogasi. Delapan tahun berlalu, tidak ada investigasi independen yang telah dilakukan terhadap tuduhan penyiksaan tersebut dan tidak ada satu pun aparat kepolisian yang dimintai pertanggungjawaban. 

Johan Teterissa dan aktivis lainnya kemudian dituduh dengan pidana makar di bawah Pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – pasal-pasal yang sering digunakan pihak berwenang Indonesia untuk memenjarakan aktivis-aktivis politik damai. Johan Teterissa awalnya dihukum penjara seumur hidup; tetapi, hukuman ini dikurangi menjadi 15 tahun penjara di tingkat banding. Pada Maret 2009, ia dan puluhan tahanan nurani lainnya dipindahkan ke penjara-penjara di Pulau Jawa. 

Organisasi-organisasi di atas menganggap Johan Teterissa dan mereka yang ditangkap bersamanya sebagai tahanan nurani (prisoner of conscience) dipenjara semata-mata karena secara damai menjalankan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul. 

Pada November 2008, Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Semena-Mena (the UN Working Group on Arbitrary Detention, WGAD) menyatakan penahanan Johan Teterissa bersifat semena-semena atas dasar bahwa ia dipenjara karena menjalankan haknya atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Hak-hak ini dijamin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia adalah negara pihaknya, dan juga dalam konstitusi Indonesia. WGAD juga menemukan bahwa penahanan Johan Teterissa bersifat semena-mena karena ia juga menjadi korban sebuah peradilan yang tidak adil. Pasal 14 dari ICCPR menjamin hak atas sebuah peradilan yang adil dan terbuka bagi publik oleh sebuah pengadilan yang kompeten, independen dan imparsial yang dijamin oleh undang-undang.

Johan Teterissa dan 14 tahanan nurani Maluku lainnya saat ini sedang dipenjara di Pulau Jawa, ribuan kilometer dari keluarga mereka di provinsi Maluku. Organisasi-organisasi ini juga menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk memindahkan mereka ke sebuah penjara yang lebih dekat dengan keluarga mereka di Maluku, seperti yang mereka minta, sambil menunggu pembebasan mereka. Di bawah Prinsip 20 dari instrumen PBB Prinsip-Prinsip Utama bagi Perlindungan Semua orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (the UN Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment) “jika seseorang yang ditahan atau dipenjara memintanya, mereka seharusnya, jika memungkinkan, ditempatkan di sebuah tempat penahanan atau pemenjaraan yang agak dekat dengan tempat tinggal asalnya”. 

Pihak berwenang Indonesia telah terus menggunakan pasal-pasal makar untuk memenjarakan para aktivis politik di Maluku karena secara damai mengekspresikan pandangan-pandangan politik mereka. Pada Januari 2015, sembilan aktivis politik divonis antara satu dan empat tahun penjara karena merencanakan peringatan ulang tahun deklarasi gerakan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) dan membawa bendera “Benang Raja”. Paling tidak 40 tahanan nurani dari Maluku masih dipenjara, beberapa menjalani hukuman hingga 20 tahun penjara. 

Organisasi-organisasi di atas mendesak parlemen Indonesia dalam kesempatan di depan pembahasan revisi KUHP untuk mencabut atau paling tidak mengubah Pasal 106 dan 110 sehingga pasal-pasal ini tidak lagi bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.