Respon Pasca Peristiwa Pembakaran Rumah Ibadah

Respon Pasca Peristiwa Pembakaran Rumah Ibadah

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebelumnya menyanyangkan terjadinya insiden pembakaran terhadap rumah ibadah yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua pada tanggal 17 Juli 2015. Insiden ini diduga bermula ketika terjadinya peristiwa penembakan terhadap warga, yang mengakibatkan kepanikan terhadap warga masyarakat, sehingga berbuntut pada terjadinya peristiwa pembakaran rumah ibadah (Musolah) di Kabupaten Tolikara.

Pasca peristiwa 17 Juli 2015 di Kabupaten Tolikara, banyak sentimen – sentimen yang bernada provokatif melalui komentar atau pesan – pesan di media yang dilakukan oleh beberapa tokoh – tokoh agama dan pejabat publik yang justru memancing situasi ini terus berlangsung, sehingga merembet pada wilayah – wilayah lain di Indonesia.

Dalam catatan kami setidaknya pasca peristiwa yang terjadi di kabupaten Tolikara hingga saat ini, kami mencatat telah terjadi 3 (tiga) peristiwa pengerusakan dan pembakaran terhadap rumah – rumah ibadah (Gereja) di beberapa daerah, seperti Palu (Sulawesi Tengah), Purworejo (Jawa Tengah), dan Bantul (DI Yogyakarta). Kami menduga bahwa peristiwa pengerusakan dan pembakaran yang terjadi di beberapa wilayah merupakan bentuk aksi balas dendam terkait dengan peristiwa di Kabupaten Tolikara, yang dipancing oleh komentar – komentar bernada provokatif.

Tidak adanya antisipasi yang dilakukan oleh negara, dengan terus bergulirnya sentimen – sentimen yang provokatif yang berbau SARA dibeberapa wilayah di Indonesia, menujukan bahwa negara acap kali absen dalam setiap upaya  memberikan garansi perlindungan terhadap warga negaranya dalam kebebasan beragama, khususnya dalam soal hak untuk beribadah bagi warga negaranya.

Alih-alih memberikan perlindungan yang muncul justru kesan pembiaran  dan tindak diskriminatif yang cenderung terlihat tidak tegas. Padahal, kebebasan untuk beridah sesungguhnya telah dijamin didalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, sebagimana diatur dalam Pasal 28 E, ayat (1), ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) yang mana “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia Pasal 22 ayat (1) dan (2), yang menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu ; Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang – Undang Nomor 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 18 “hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut, dan pasal 27 “dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak”.

Mengacu dari ketentuan diatas dan peristiwa di Tolikara dan pasca peristiwa di Tolikara, kami bisa mengatakan bahwa negara telah gagal dalam memberikan jaminan perlindungan atas kebebasan beragama. Negara telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam ranah pembiaran saat negara begitu permisifnya terhadap berbagai peristiwa kekerasan berbasis agama.

Terkait dengan hal diatas, kami Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

Pertama, Mengecam keras segala bentuk kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan perusakan terhadap rumah – rumah ibadah baik yang terjadi di Tolikara maupun diwilayah – wilayah lain pasca peristiwa 17 Juli 2015 di Tolikara.

Kedua, Mendesak Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap Peraturan – Peraturan Daerah yang bernuansa agama, yang justru terlihat diskriminatif di beberapa wilayah yang masyarakatnya beragama minoritas, hal ini perlu kami ingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, karena itu tidak dibenarkan hukum agama dipindahkan menjadi hukum negara;

Ketiga, Mendesak Kepolisian Republik Indonesia melakukan penindakan terhadap seluruh pelaku kekerasan dan pengrusakan tempat ibadah baik yang terjadi di Kabupaten Tolikara maupun pengerusakan di wilayah – wilayah lain, termasuk terhadap penyebar pesan – pesan dan ajakan yang berbau provokatif, kami juga mengingatkan dan percaya bahwa semua agama/keyakinan dilahirkan untuk menihilkan kekerasan dan menjauhi kebencian ataupun prasangka.

Demikian hal ini kami sampaikan sebagai bentuk komitmen dan kepedulian terhadap tetap tegaknya nilai-nilai keberagaman di Indonesia.

Jakarta, 22 Juli 2015