Ketidaketisan dan Ketidaktepatan dalam Rencana Pemberian Penghargaan Kepada Kim Jong Un

Ketidaketisan dan Ketidaktepatan dalam Rencana Pemberian Penghargaan Kepada Kim Jong Un

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pemberian penghargaan (Award) kepada Kim Jong Un sebagai tokoh anti-imperialisme oleh Yayasan Pendidikan Soekarno. KontraS meyakini ketidaketisan dan ketidaktepatan dalam pemberian penghargaan tersebut, serta mendesak Yayasan Pendidikan Soekarno segera membatalkan  pemberian penghargaan. Diberikannya penghargaan atas sikap anti-imperialisme Kim- Jong Un tanpa menjadikan sikap politik Korea Utara sebagai indikator, diantaranya dengan menutup semua celah komunikasi terkait isu HAM dan demokrasi dengan negara lain, maupun organisasi internasional, serta dengan menjalankan kekerasan struktural dalam wilayah kedaulatan negara sama sekali tak patut dilakukan oleh Yayasan Pendidikan manapun, yang bergerak untuk pemajuan demokrasi, HAM dan pembangunan.

Pelanggaran HAM berat yang diduga kuat dilakukan oleh Pemerintah Korea Utara berdasarkan laporan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korea Utara seharusnya menjadi indikator penting dalam menentukan pemberian gelar dalam bentuk apapun, termasuk pemberian gelar yang akan dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.  Korea Utara merupakan salah satu negara dengan krisis HAM dan demokrasi terburuk, dengan adanya pelanggaran HAM yang berat secara sistematis dan meluas serta disponsori oleh negara. Laporan dari Komisi Investigasi PBB (UN Commission of Inquiry) telah membuktikan adanya represi dan pelanggaran HAM dalam bentuk1, antara lain:

Pertama, Pelanggaran atas Kebebasan Berpikir, Beragama, dan Berekspresi, diantaranya dengan ditutupnya akses informasi dari sumber yang independen, dimana media yang dikendalikan oleh negara adalah satu-satunya sumber diizinkan. Dalam kebebasan beragama, Pemerintah Korea Utara menganggap penyebaran agama Kristen sebagai ancaman yang sangat serius, oleh karenanya negara memiliki kontrol penuh atas rumah ibadah dan aktivitas didalamnya. Terakhir, warga negara dihukum untuk aktivitas yang dikategorikan sebagai aktivitas "anti-Negara" yang dianggap sebagai perbuatan kriminal.

Kedua, diskriminasi secara sistematik dilangsungkan berdasarkan sistem Songbun yang mengklasifikasikan kelas dari warga negara berdasarkan sistem sosial. gender, agama, dan opini politik. Pemerintah Korea Utara mengenakan pembatasan pasar yang didominasi perempuan, serta perempuan yang ditargetkan sebagai membayar denda.

Ketiga, Pelarangan atas kebebasan bergerak dan bertempat tinggal. Sistem indoktrinasi dan diskriminasi atas dasar kelas sosial diperkuat dan dilindungi oleh kebijakan negara dalam mengisolasi warga negaranya dari kontak dengan dunia luar, yang secara kuat telah melanggar segala aspek dalam hak untuk kebebasan bergerak. Warga negara bahkan tidak diizinkan untuk meninggalkan provinsi mereka untuk sementara waktu tanpa ijin dari pemerintah secara resmi. Kebijakan ini dilakukan untuk membatasi arus informasi dan memaksimalkan kontrol Negara, dengan mengorbankan  ikatan sosial dan kekeluargaan.

Keempat, pelanggaran hak atas pangan dan aspek terkait dari hak untuk hidup. Pemerintah Korea Utara telah menggunakan makanan sebagai alat kontrol atas penduduk. Penghukuman negara melalui kelaparan yang disengaja sebagai alat kontrol dan hukuman di fasilitas penahanan telah mengakibatkan kematian banyak tahanan politik yang berada di kamp-kamp penjara.

Kelima, penahanan, penyiksaan, eksekusi sewenang-wenang di kamp-kamp penjara. Polisi dan militer dari pemerintah Korea Utara secara sistematis menggunakan kekerasan dan hukuman yang tidak manusiawi dalam rangka menciptakan iklim ketakutan bagi warga negaranya. Diestimasikan sekirar 80.000-120.000 tahanan politik ditahan di empat kamp tahanan politik yang cukup besar di Korea Utara.

Keenam, Penculikan dan penghilangan paksa dari negara lain. Sejak tahun 1950 hingga sekitar tahun 1980 setelah Perang Korea , Korea Utara telah terlibat dalam penculikan sistematis, penolakan repatriasi dan penghilangan paksa dalam skala besar sebagai kebijakan negara. Lebih dari 200.000 orang, termasuk anak-anak, yang dibawa dari negara lain hingga saat ini tidak dikembalikan.

Enam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Korea Utara diselenggarakan atas kontrol dari sistem yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengambil bentuk, diantaranya: pembunuhan diluar proses hukum, perbudakan, penyiksaan, pemenjaraan sewenang-wenang tanpa proses hukum yang jelas, kekerasan seksual, persekusi atas opini politik yang berbeda, agama dan ras, pemindahan paksa penduduk, penghilangan paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan secara sengaja, serta menyebabkan kelaparan berkepanjangan.

Pada Desember 2014, Majelis Umum PBB juga telah berupaya untuk membawa Kim Jong Un, sebagai Kepala Negara yang melaksanakan pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di dalam wilayah kedaulatan negaranya ke International Criminal Court atau Pengadilan Pidana Internasional yang didukung oleh 116 negara.

Merupakan suatu kewajiban moral, bagi lembaga yang memiliki perhatian yang mendalam mengenai pemajuan demokrasi, pembangungan, serta hak asasi manusia, untuk dapat menyuarakan ketidakadilan  yang diselenggarakan oleh Pemerintah Korea Utara. Termasuk Yayasan Sukarno, yang kami yakini dapat mempertimbangkan secara rasional, berdasarkan atas fakta-fakata lapangan yang valid, untuk dapat menarik kembali rencana pemberian Award kepada Kim Jong Un.

Jakarta, 5 Agustus 2015

 

Haris Azhar
Koordinator

 

1 Dokumen resmi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa: Report of the commission of inquiry on human rights in the Democratic People’s Republic of Korea, dikeluarkan pada tanggal 7 Februari 2014