Satu Dekade MoU Helsinki Pemenuhan Hak-Hak Para Korban Masih Kelabu

Satu Dekade MoU Helsinki

Pemenuhan Hak-Hak Para Korban Masih Kelabu

Berkenaan dengan peringatan satu dekade Perdamaian Aceh, yang ditandai dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam, KontraS kembali mengingatkan Pemerintah atas tanggung jawabnya terkait penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (konflik) di Aceh sebagaimana telah disepakati dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pertanggungjawaban hukum terhadap kasus-kasus tersebut merupakan mandat dari Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Peringatan 10 tahun Perdamaian Aceh masih diselimuri duka bagi para pencari keadilan dan kebenaran. Tidak ada kemajuan berarti yang membanggakan dari segi pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran dan reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Aceh. Nasib orang-orang yang dihilangan secara paksa pada masa konflik tetap gelap, dalam artian belum diketahui keberadaannya. Ironisnya tidak ada pula upaya dari Pemerintah untuk mencari tahu nasib mereka. Sementara itu, para penjahat kemanusiaan yang seharusnya dihadapkan ke pengadilan justru malah terus mendapat ruang menikmati impunitas.

Dalam rentang waktu 10 tahun Aceh Damai, upaya Pemerintah baru sebatas pemberian santunan bagi para korban. Itu pun dipenuhi dengan berbagai penyimpangan didalamnya, seperti korupsi dan ketidakadilan dalam proses pembagian. Upaya yang cukup maju adalah lahirnya Qanun Aceh No. 17 Tahun 2012 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Aturan ini merupakan landasan hukum bagi pembentukan KKR di Aceh. KKR sebagai sebuah mekanisme non-yudisial yang bersifat komplementer dengan mekanisme yudisial (Pengadilan HAM) ini sangat dibutuhkan dalam mengungkap fakta kebenaran atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM selama kurun waktu konflik bersenjata di Aceh. Sangat disayangkan, keberadaan Qanun KKR Aceh menjadi tidak berarti karena sama sekali tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, Guberbur Aceh dan DPRA harus segera melaksanakan pembentukan Lembaga KKR Aceh.

Selain lemahnya itikad politik pemerintah terkait pembentukan KKR Aceh, Komnas HAM juga menjadi penghambat utama dalam proses pengungkapan kebenaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh. Sejak 2013, Komnas HAM telah menyelidiki lima (5) kasus pelanggaran HAM berat di Aceh [Rumah Gedong di Pidie (1998); Simpang KKA di Aceh Utara (1999); Bumi Flora di Aceh Timur (2001); Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah (2001); dan Jambu Keupok (2003)], namun hingga saat ini belum ada satu pun yang selesai diselidiki. Kapasitas dan kredibilitas penyelidik Komnas HAM sangat mengecewakan, mengingat banyaknya bukti-bukti pendukung atas kelima kasus yang diselidiki tersebut.

Melihat adanya komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagaimana termaktub dalam Nawacita, seharusnya Komnas HAM menjadi lebih fokus dalam menjalankan mandatnya sebagai penyelidik—bukan malah sibuk pada upaya-upaya yang melenceng dari jalur hukum, seperti merekonsiliasikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tanpa sebelumnya Kejaksaan Agung menjalankan fungsi penyidikan dan penuntutan.

Meski penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh tidak menjadi prioritas kasus yang akan diselesaikan secara berkeadilan oleh Presiden Joko Widodo, baik dalam visi-misi maupun Nawacita, diharapkan dengan adanya keputusan reshuffle Kabinet Kerja terhadap Menteri Koodinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), diharapkan dapat mendorong adanya preseden hukum yang baik terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Menko Polhukam sebagai pemegang peran strategis dalam menentukan arah kebijakan melalui peran koordinasi dan sinkronisasi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010, diharapkan dapat mengarahkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum secara berkeadilan.

Jakarta, 14 Agustus 2015

Badan Pekerja KontraS

Feri Kusuma

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas