Tujuh Rekomendasi Agenda Prioritas untuk Menkopolhukam

Tujuh Rekomendasi Agenda Prioritas untuk Menkopolhukam

Perombakan kabinet (reshuffle) yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa 11/08/2015, menunjukkan secara serius bahwa masih terdapat hambatan dan kekurangan dalam implementasi kebijakan, serta program pemerintah. Salah satu yang diganti adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pengganti Menko Polhukam sebelumnya, Tedjo Edhy Purdijatno.

Pergantian tersebut menunjukkan akselarasi pemerintah bidang politik, hukum dan keamanan masih belum maksimal—dimana Kemenko Polhukam memiliki tugas mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan berbagai kebijakan kementerian dan lembaga negara terkait di bidang tersebut [Pasal 2, 3 dan 4 Perpres No. 24/2010].

Dalam hal ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengingatkan Menko Polhukam terpilih, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk tidak mengulangi kesalahan, serta melakukan evaluasi kebijakan dan respon Menko Polhukam sebelumnya yang seringkali tidak mengacu pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi, diantaranya adalah beberapa pernyataan yang cenderung mengarahkan untuk tidak menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masal lalu sesuai dengan prinsip anti-impunitas atau prinsip hak-hak korban; atau pernyataan kontroversial lainnya yang menyebut masyarakat pendukung KPK sebagai rakyat enggak jelas.

Mengacu pada hal-hal tersebut di atas, KontraS merekomendasikan tujuh (7) agenda prioritas yang terkait dengan bidang politik, hukum dan keamanan dibawah Menko Polhukam:

1] Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Menko Polhukam harus dapat mengambil tanggung jawab untuk mengkoordinasikan langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip anti-impunitas yang dapat menjamin dipenuhinya hak-hak korban/keluarga korban.

Kewenangan koordinatif yang dimiliki oleh Menko Polhukam harus digunakan untuk mengkoordinasikan bahwa lembaga-lembaga tersebut bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya, yakni Komnas HAM melalukan penyelidikan; Jaksa Agung melakukan penyidikan; Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan usulan aturan perundang-undangan yang mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat; institusi keamanan [TNI] dan penegak hukum [Kepolisian dan Kejaksaan] mendukung semua proses tersebut; serta secara khusus meminta Presiden RI agar menggunakan kewenangan politiknya untuk mendukung semua proses tersebut, diantaranya membentuk Komite Kepresidenan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu

2] Penanganan Papua

Situasi dan kondisi Papua harus menjadi perhatian serius Menko Polhukam. Kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM di Papua masih terus berlangsung; pendekatan keamanan dan pembangunan yang digunakan tanpa memperhatikan keadilan; serta buruknya penegakan hukum dan HAM di Papua akan terus menyulitkan upaya perbaikan situasi di Papua. Jaminan hak-hak demokratik masyarakat Papua, diantaranya kebebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi harus dilindungi, termasuk akses bagi jurnalis dan juga pemulihan bagi para Tapol Napol Papua

Menko Polhukam harus bersinergi dengan institusi keamanan untuk memastikan penempatan operasi keamanan di Papua, baik oleh TNI maupun Kepolisian, ada dalam radar koordinasi Kemenko Polhukam untuk mencegah terjadinya operasi diluar kendali atau untuk tujuan perlindungan bagi masyarakat Papua, termasuk tindakan-tindakan yang berujung dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Langkah ini dapat dilakukan diantaranya dengan membentuk Tim Koordinasi keamanan dan penegakan hukum di Papua, agar kesatuan keamanan tidak berjalan sendiri-sendiri.

3] Implementasi Perdamaian Aceh

Proses perdamaian di Aceh masih harus menjadi perhatian pemerintah nasional. Dalam hal ini Kemenko Polhukam memiliki peran penting untuk memastikan sejauh mana Perjanjian Damai Aceh yang telah disepakati melalui MOU Helsinki (yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005) telah diimplementasikan, diantaranya penyelesaian pelanggaran HAM seperti penghilangan paksa, pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi di masa konflik. Sampai dengan 10 tahun Perjanjian Damai (15 Agustus 2015) tidak ada satu pun mekanime judicial dan non-judicial yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh [KKR] Aceh No. 17 tahun 2013 yang telah disahkan, belum dapat diimplementasikan karena karena minimnya dukungan pemerintah Aceh dan juga kementerian terkait di nasional, seperti Kemenko Polhukam dan Kemendagri, yang terkait dengan kordinasi penyelesaian masalah ini.

Menko Polhukam harus memastikan implementasi Perjanjian Damai Aceh tidak cukup hanya dengan pengupayaan badan-badan birokratis untuk isu bantuan kemanusiaan seperti Badan Rentergrasi Aceh (BRA), tetapi juga harus dipastikan sejauh mana keadilan itu sampai kepada masyarakat yang menjadi korban akibat konflik. Adanya ketidakpuasaan mantan kombatan, terkonsentrasinya kekuasaan oleh kelompok tertentu, serta tidak adanya penanganan atas pelanggaran HAM dapat menggaggu proses perdamaian di Aceh.

4] Reformasi Sektor Keamanan

Reformasi Sektor Kemananan [RSK] harus menjadi perhatian Menko Polhukam melalui tanggung jawab koordinatif yang dimiliki. Kementerian Pertahanan dan Institusi TNI harus didudukan secara intens sejauh mana profesionalisme TNI dalam bidang pertahanan dan ketertundukannya terhadap sipil sudah berjalan; tidak berjalannya revisi sistem peradilan militer, maraknya bentokan antara anggota TNI dan Kepolisian atau bentrokan antar matra; seringnya kecelakaan akibat alutsista yang buruk; serta masih seringnya tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh anggota TNI menjadi tantangan untuk isu RSK.

5] Reformasi Kepolisian RI [Polri]

Persoalan krusial di tubuh Polri adalah lemahnya akuntabilitas Polri dalam pelayanan dan penegakan hukum, serta rentanya Polri menjadi partisan partai atau kepentingan politik. Hal ini ditandai dengan buruknya kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian; intensitas tindakan kekerasan, pelanggaran HAM dan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian dengan menggunakan diskresi yang dimiliki; serta konflik KPK-Polri yang syarat intevensi politik. Situasi di atas terjadi, diantaranya karena tidak efektifnya mekanisme kontrol eksternal yang harusnya dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Dalam hal ini Menko Polhukam memiliki tanggung jawab lebih karena Menko Polhukam merupakan Ketua dari Kompolnas. Oleh karenanya Menko Polhukam bertanggungjawab mengawasi akuntabilitas di tubuh Polri, diantaranya dengan memastikan Kompolnas bekerja secara independen; profesional dalam memberikan pengawasan terhadap Polri—termasuk dalam mendorong reformasi di tubuh Polri agar berjalan efektif.

6] Jaminan atas Hak Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah [KBBB]

Situasi jaminan kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah menjadi salah satu tantangan bagi perdamaian dan nasionalisme bangsa. Kekerasan, konflik, pelarangan-pelarangan yang berkaitan dengan jaminan hak atas KBBB, baik dalam bentuk ekspresi atau aturan tertulis menunjukan eskalasi yang apabila tidak dicarikan solusi dan jalan keluar yang komprehensif dapat memicu perpecahan sectarian, agama dan seterusnya.

Dalam hal ini Menko Polhukam harus segera mengkoordinasikan kementrian dan lembaga negara terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Agama; Komnas HAM dan Polri untuk segera melakukan kerja sama perihal penyusunan fakta pelanggaran hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah untuk kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk pendekatan kebijakan yang komprehensif dan implementatif.

7] Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana [ RUU KUHP]

Pembahasan draft RUU KUHP akan banyak menyangkut hal-hal yang terkait dengan isu-isu krusial di bidang politik, hukum dan keamanan yang berhubungan dengan pemerintah, diantaranya pasal penghinaan Presiden; penghinaan terhadap pemerintah; jaminan perlindungan beragama dan berkeyakinan; menyampaikan pendapat, berorganisasi dan lain-lain.

Dalam hal ini, untuk mengatisipasi segala potensi yang muncul dalam proses dan hasil pembahasan draft RUU KUHP, Kemenko Polhukam harus segera memetakan dampak politik dan hukum dan/atau potensi-potensinya bagi keberlangsungan politik di Indonesia, serta jaminan penegakan hukum ke depan. Dengan memiliki pemetaan awal Menko Polhukam dapat memberikan saran dan masukan yang tepat kepada Presiden, termasuk mengkoordinasikan Kementerian dan lembaga negara yang terkait dengan persoalan-persoalan ini.

Jakarta, 14 Agustus 2015

Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar, SH, MA

Koordinator