Penutupan SeHAMA 2015

Sekolah Hak Asasi Manusia Untuk Mahasiswa (SeHAMA) 2015 diadakan sejak tanggal 31 Juli ditutup pada tanggal 18 Agustus 2015. SeHAMA yang diadakan setiap tahun dan telah menginjak tahun ke tujuh telah memilih 28 mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia. SeHAMA 2015 telah melibatkan narasumber yang ahli di bidangnya untuk menjelaskan isu-isu terkait hak asasi manusia. Rocky Gerung (UI), Robertus Robet (UNJ), Dina Hapsari (UNHCR), Sugeng Bahagijo (INFID), dan beberapa narasumber dari KontraS yang juga ahli pada bidang masing-masing untuk menjelaskan mengenai isu-isu dalam hak asasi manusia dan menjelaskan mengenai upaya advokasi isu hak asasi manusia di Indonesia. Peserta SeHAMA sangat aktif dalam mengikuti rangkaian materi di SeHAMA, mereka mengunjungi beberapa situs terjadinya pelanggaran HAM di area Jakarta dan kunjungan ke beberapa instansi terkait seperti Mahkamah Konstitusi, PKNI dan rumah ibadah seperti Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Kegiatan mereka ditutup dengan praktek observasi lapangan untuk melakukan penelitian ke beberapa komunitas kelompok rentan pelanggaran HAM di Jakarta, seperti Sanggar Waria Remaja (SWARA), Komunitas Nelayan Kali Adem, Komunitas Waduk Pluit, Komunitas Buruh Cibitung dan Komunitas ’65.

Diskusi Publik Pentupan SeHAMA 2015 yang bertemakan “Merdeka Dari Rasa Takut” sekaligus untuk merefleksikan 70 tahun Indonesia merdeka. Bagaimana masyarakat harus bisa lepas dari rasa takut di Republik Indonesia dengan berbagai realita yang terjadi di Indonesia. Diskusi yang diisi oleh Galuh Wandita (Ketua Perkumpulan KontraS, Direktur AJAR), Seno Gumira (Penulis) dan Khurram Parvez (Asia Federation Against Disappearances).

Pertama, Galuh Wandita menjelaskan mengenai bagaimana sesungguhnya masyarakat Indonesia berjuang melawan rasa takut dari masa lampau hingga saat ini. Galuh Wandita menjelaskan mengenai berjuang melawan rasa takut melalu berbagai kutipan dari tokoh-tokoh terkenal. Galuh Wandita menjelaskan bahwa rasa ketakutan yang timbul dalam diri masyarakat Indonesia dari masa lampau masih ada. Dengan rasa takut itu masyarakat Indonesia dibuat menjadi amnesia akan realita yang terjadi di masa lampau. Salah satunya mengenai pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau. Doktrin-doktrin lama yang menimbulkan sebuah ketakutan dalam diri masyarakat yang membuat mereka tidak bebas untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga ketakutan tersebut menjadi terlembaga. Selain itu, Galuh pun menjelaskan mengenai bagaimana sebuah perjuangan, yang salah satunya perjuangan di era kemerdekaan Negara Indonesia belum tentu akan memberikan kebebasan bagi masyarakat, karena dari era penjajahan dengan tempo waktu yang sangat lama dapat membuat masyarakat silau akan kemerdekaan itu sendiri. Di akhir materi, Galuh bercerita mengenai bagaimana sebuah perjuangan akan rasa takut itu sendiri bisa didapatkan karena adanya kemauan dari dalam diri untuk bisa bebas dari ketakutan itu sendiri.

Kedua, Seno Gumira menjelaskan mengenai bagaimana sebenarnya pengetahuan mengenai ketakutan itu sangat minim diberikan kepada masyarakat. Bagaimana untuk meredam rasa takut yang ada pada diri masyarakat tidak diberikan oleh para penguasa agar masyarakat dapat berani untuk mengemukakan pendapatnya. Pada realitanya, masyarakat cenderung lebih terbatasi oleh rasa takut itu sendiri sebelum mereka dapat mengemukakan aspirasi mereka dan menuntut keadilan. Ketakutan itu sendiri yang sesungguhnya telah dikonstruksi ke dalam diri masyarakat agar dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan yang ada di belakang pembentuk rasa takut itu sendiri. Masyarakat Indonesia seharusnya dapat mengelola rasa takut itu dan tetap berani untuk mengemukakan pendapat, karena rasa takut itu akan hilang dari dalam diri sendiri.

Ketiga, Khurram Parvez dari Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) membagikan pengalamannya mengenai bagaimana ia menghadapi rasa takut di daerah asalnya di Kashmir. Khurram merupakan seorang aktivis yang berjuang untuk isu hak asasi manusia di Kashmir. Pada suatu saat, ia bersama teman-temannya yang sedang berjuang membantu korban pelanggaran HAM terancam nyawanya. Mobil yang ia tumpangi bersama rekannya di bom dan ia harus kehilangan satu kaki. Korban yang ia advokasikan pada saat itu mulai pesimis dengan kenyataan yang terjadi, ketika Khurram menjelaskan kepada korban untuk jangan pernah takut, lalu ia tertimpa musibah dengan teror bom tersebut. Khurram tidak menyerah hingga disitu saja, rasa pesimis dari korban yang ia dampingi dan musibah yang menimpanya tidak malah membuatnya putus asa. Khurram bangkit dan terus memperjuangkan hak masyarakat Kashmir. Ia percaya bahwa dengan kekuatan cinta sebuah rasa takut tersebut dapat terkalahkan.

Setelah diskusi publik, acara ditutup dengan presentasi dari 5 kelompok observasi lapangan mengenai pengalaman mereka dan pelanggaran HAM apa saja yang terjadi di daerah mereka tinggal. Bahwa pelanggaran HAM yang terjadi memiliki efek domino yang menjalar dari satu hak ke hak yang lain. Para peserta pun memberikan rekomendasi apa saja yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah bersangkutan. Di akhir acara, penampilan dari White Shoes and the Couples Company memeriahkan penutupan acara SeHAMA 2015 dengan meriah.