Darurat Penghentian Praktik Penyiksaan, Pemberatan Hukuman Pelaku Penyiksaan dan Hentiksan Kriminalisasi Bagi Korban/Keluarga Penyiksaan

Darurat Penghentian Praktik Penyiksaan, Pemberatan Hukuman Pelaku Penyiksaan

dan Hentiksan Kriminalisasi Bagi Korban/Keluarga Penyiksaan

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan masih terus terjadinya praktik – praktik penyiksaan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk penghukuman maupun upaya mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dari catatan KontraS, dalam 4 (empat) bulan terakhir saja, yakni Mei – Agustus 2015 setidaknya kami telah menerima sebanyak 4 (empat) pengaduan kasus penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Praktik penyiksaan tersebut mengakibatkan sebanyak 7 (tujuh) orang tewas 16 (enam belas) orang lainnya mengalami luka – luka.

 

Adapun 4 (empat) kasus praktik – praktik penyiksaan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:

 

Pertama, Pada tanggal 08 Mei 2015, KontraS menerima pengaduan kasus penyiksaan yang mengakibatkan kematian seorang anak di bawah umur bernama RS (16 tahun) oleh anggota Opsonal Jatanras Polres Samarinda. Sebelumnya, korban yang merupakan anak dari salah seorang anggota kepolisian tersebut bersama rekan-rekannya ditangkap oleh 9 (sembilan) orang anggota Jatanras Polres Samarinda terkait dengan tuduhan terlibat dalam pencurian sepeda motor. Selama proses pemeriksaan, diketahui bahwa korban dipaksa untuk mengakui tindak pidana yang disangkakan dengan cara disiksa oleh anggota Polres Samarinda dengan tangan kosong dan kursi lipat hingga menyebabkan korban muntah dan meninggal dunia;[1]

 

Kedua, Pada tanggal 08 Juni 2015, KontraS menerima pengaduan terkait dengan kasus penyiksaan terhadap 19 (sembilan belas) orang warga Lampung Timur, dimana 5 (lima) orang diantaranya meninggal dunia oleh anggota Polsek Serpong. Sebelumnya, 19 (sembilan belas) warga Lampung tersebut ditangkap oleh anggota Polsek Serpong terkait dengan tuduhan keterlibatan dalam sindikat pencurian sepeda motor. Namun karena tidak ditemukan adanya bukti yang cukup sehingga sebanyak 14 (empat belas) orang warga kemudian dibebaskan, sementara 5 (lima) orang lainnya dilaporkan meninggal dunia dengan luka tembakan bahkan salah satu diantaranya meninggal dengan kondisi patah tulang leher;[2]

 

Ketiga, Pada tanggal 22 Juni 2015, KontraS menerima pengaduan terkait dengan kasus penyiksaan terhadap anak di bawah umur bernama VA (12 tahun) oleh anggota Polsek Widang. Kasus ini bermula dari adanya laporan tetangga korban terkait dengan tuduhan pencurian sepeda motor yang diduga dilakukan oleh korban. Pasca dilakukan penangkapan, korban mengalami penyiksaan oleh anggota Polsek Widang dengan tujuan agar korban mengakui tindak pidana yang disangkakan namun kemudian dilepaskan karena tuduhan tersebut tidak terbukti;[3]

 

Keempat, Pada tanggal 07 Agustus 2015, KontraS menerima pengaduan kasus kematian Suharli oleh anggota Polres Bangka. Peristiwa ini bermula ketika korban ditangkap oleh anggota Satnarkoba Polres Bangka karena dituduh sebagi pengedar Narkotika oleh salah seorang yang sebelumnya telah ditangkap oleh anggota Satnarkoba Polres Bangka. Korban kemudian diinterogasi agar menunjukkan barang bukti Narkotika dengan cara disiksa hingga akhirnya korban meninggal dunia.[4]

 

Dari kasus – kasus penyiksaan diatas, KontraS menemukan sejumlah fakta, antara lain:

 

  1. Bahwa proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri tidak dilakukan berdasarkan adanya bukti permulaan maupun alat bukti yang cukup sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 17 “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup” hal ini sebagaiman yang diatur juga dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Kondisi ini menunjukan  cara – cara penegakan hukum yang tidak sesuai dengan hukum terus berulang dari waktu ke waktu dilakukan oleh anggota POLRI dalam menggunakan diskresi dan kewenangan yang dimilikinya;

 

  1. Bahwa praktik – praktik penyiksaan sebagai bentuk penghukuman maupun guna mendapatkan pengakuan dari korban atau orang yang disangkakan masih dijadikan metode yang kerap dilakukan oleh penyidik guna mempermudah dalam mengungkap peristiwa tindak pidana, dalam catatan KontraS pada priode 2014 – 2015 setidaknya telah terjadi 15 (lima belas) peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh POLRI. Hal ini menujukan masih minimnya skill (kemampuan) dan profesionalisme anggota POLRI dalam mengusut dugaan tindak pidana;

 

  1. Bahwa dalam melakukan proses hukum terhadap anggota Polri yang terbukti melakukan praktik – praktik penyiksaan, pihak penyidik tidak memaksimalkan penerapan pasal yang ada dalam KUHP untuk memperberat pelaku penyiksaan, seperti penerapan Pasal 422 KUHP yang menjelaskan “pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengaku, maupun untuk memancing orang supaya memberi keterangan, dihukum penjara selamanya empat tahun”;  

 

  1. Bahwa dalam peristiwa kematian RA oleh anggota Polres Samarinda, terungkap fakta bahwa pihak penyidik tidak transparan dan akuntabel dalam proses penegakan hukum, dan terdapat upaya untuk memotong mata rantai para pelaku lainnya yang turut serta dalam melakukan praktik – praktik penyiksaan. Hal ini dibuktikan dari pertimbangan Majelis Hakim dalam berkas putusan Pengadilan Negeri Samarinda terhadap AW (salah seorang anggota Polres Samarinda yang menjadi terdakwa penyiksaan terhadap RA), yang menilai bahwa kematian korban tidak hanya diakibatkan oleh perbuatan 1 (satu) orang pelaku, melainkan ada rentetan peristiwa kekerasan lain yang dilakukan oleh anggota penyidik yang lain sehingga menyebabkan kematian korban;

 

Sementara dalam Kasus Suharli hingga saat ini pihak Polda Kep. Bangka Belitung belum juga menetapkan tersangka terhadap para pelaku penyiksaan dalam hal ini anggota Satnarkoba Polres Bangka yang melakukan penangkapan terhadap korban dengan alasan belum adanya bukti terkait dengan kematian korba. Selain itu terkait dengan kasus Narkotika yang dituduhkan, pada saat korban ditangkap, korban tengah berada di kediaman salah seorang anggota kepolisian Polres Bangka, namun hingga saat ini belum dilakukan pemeriksaan terhadap anggota kepolisian tersebut;

 

  1. Bahwa dalam beberapa kasus penyiksaan terjadi upaya kriminalisasi (pemidanaan yang dipaksakan atau tidak untuk tujuan penegakan hukum) terhadap korban atau keluarga korban yang berjuang melapor dan menuntut penyelesaian kasusnya, kriminalisasi tersebut dalam bentuk pelaporan balik tindak pidana yang seringkali dimaksudkan untuk membuat korban atau keluarga korban bungkam. Kondisi ini terjadi dalam kasus penyiksaan terhadap VA, Orang tua VA dilaporkan dengan tuduhan pemerasan, dan juga dalam kasus penyiksaan terhadap Kuswanto dilaporkan dengan tindak pidana penadahan, di mana peristiwa tersebut terjadi sebelum peristiwa penyiksaan dialami korban;

 

  1. Bahwa anak – anak di bawah umur pun sangat rentan menjadi target korban penyiksaan oleh anggota Polri, sebagaimana yang terjadi RA dan VA. Hal ini menunjukan pengetahuan anggota POLRI tentang hak dan perlindungan anak sangat lemah, ini juga menunjukan tidak adanya kordinasi antara unit kepolisian dalam menangani sebuah dugaan tindak kejahatan yang diduga melibatkan anak dibawah umur, seperti misalkan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA);

 

Atas fakta – fakta yang kami temukan diatas, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

 

Pertama, Kapolri untuk memberikan penghukuman yang tegas terhadap para pelaku praktik – praktik penyiksaan, baik secara proses pidana maupun etik sebagai bentuk efek jera. Proses hukum juga harus dipastikan berjalan secara transparan dan akuntabel;

 

Kedua, Bareskrim Mabes POLRI untuk memaksimalkan penerapan pasal dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam proses hukum terhadap para pelaku praktik penyiksaan seperti Pasal 351 dan Pasal 422 KUHP.

 

Ketiga, Kapolri bersama dengan Bareskrim harus memastikan bahwa anggotanya mengimplementasikan  peraturan – peraturan internal di Kepolisian yang ada, seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajeman Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum yang berdasarkan nilai – nilai Hak Asasi Manusia;

 

Keempat, Lembaga – lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman RI dan Kompolnas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pengawasan sebagaimana tugas dan fungsinya, untuk meminimalisir praktik – praktik penyiksaan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh POLRI, termasuk penyiksaan terhadap anak dibawah umur;

 

Kelima, Kapolri menigkatkan kemampuan dan pengetahuan bagi anggotanya dalam melakukan pengusutan dugaan tindak pidana dan pengumpulan bukti – bukti kejahatan agar pembuktian yang dilakukan tidak melulu bergantung pada pengakuan tersangka, karena jika hanya mengejar pengakuan tersangka maka penyiksaan akan terus terjadi dan berulang;

 

Kelenam, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) memasukan dan mengesahkan pasal pemidanaan tindak pidana penyiksaan dalam Rancangan Undang – Undang KUHP, termasuk segera membuat dan membahas Undang – Undang Penghentian Praktik Penyiksaan.

 

 

Jakarta, 24 Agustus 2015

 

Badan Pekerja,

Yati Andriyani, Wakil Koordinator Bidang Advokasi

Putri Kanesia, Kadiv Pembelaan Hak Sipil Politik

Arif Nurfikri, Staff Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik

 

 


[1] Lihat http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2047

[2] Lihat http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2070

[3] Lihat http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2076

[4] Lihat http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2088