Jokowi dan Sebuah Pertanyaan Profesionalisme TNI: Mampukah Joko memodernisasikan militer Indonesia tanpa bayang-bayang Orde Baru?

Dalam 17 tahun terakhir, kita bisa melihat pasang surut relasi sipil-militer khususnya dalam konteks bagaimana pemerintahan sipil secara strategis mampu menempatkan militer TNI sesuai dengan kerangka profesionalitas, standar akuntabilitas dan sekaligus menghadirkan infrastruktur yang mampu memodernisasikan kinerja TNI dalam fungsinya untuk menjaga dinamika pertahanan negara.  

Pasca Reformasi 1998, tantangan-tantangan di atas kerap muncul di dalam setiap administrasi pemerintahan pasca era-Suharto. Hal demikian juga tidak terelakkan ketika di masa SBY (2004-2009 dan 2009-2014) yang memiliki karier panjang di dalam struktur TNI, agenda akuntabilitas TNI juga masih berjalan ditempat dengan indikator masih masifnya praktik kekerasan aparat TNI di lapangan yang tidak diikuti dengan solusi efektif untuk menggiring kembali TNI dalam jalur akuntabilitas.  Kondisi klasik lain yangkerap muncul dan tidak terelakkan adalah persaingan ketat antara TNI dan Polri dalam beberapa isu evolusi keamanan nasional: separatisme – anti terorisme, pengelolaan keamanan di wilayah (pasca) konflik, kesejahteraan aparat, politisasi TNI, hingga persoalan pemutakhiran peralatan tempur yang membawa sentimen bahwa kebutuhan TNI masih belum diprioritaskan. 

Lalu adakah perubahan esensial TNI di bawah kepimpinan Joko Widodo? Secara umum, KontraS menangkap ada sinyal semangat profesionalitas yang ingin dirawat oleh TNI. Namun demikian semangat profesionalisme tidak akan efektif jika tidak didukung dengan peta kebijakan strategis bagaimana pemerintahan di masa Joko Widodo akan menempatkan TNI dalam agenda-agenda nasional –seperti ekonomi, pembangunan, hingga persoalan sosial, politik dan keamanan. KontraS memotret telah terjadinya sejumlah kesenjangan yang potensial membuka kembali kotak pandora bayang-bayang Orde Baru: 

1. Presiden Joko Widodo masih belum aktif mengawal agenda kebijakan TNI –khususnya mampu menstrategikan model kepimpinan yang akuntabel dan mengelola kebijakan-kebijakan strategis militer Indonesia. Presiden lebih banyak menggunakan beberapa individu purnawirawan jenderal TNI sebagai penasehat (Menkopolhukam, Kepala BIN, Menteri Pertahanan) sebagai jembatan untuk berkomunikasi dengan TNI maupun memberikan panduan yang juga masih terasa abstrak dalam kerangka analisa pertahanan sebuah negara (meskipun terdapat Buku Putih dan Minium Essential Force  TNI 2010-2024 yang dapat dijadikan panduan namun turunan kerangka operasional mutlak dilakukan). Ketidakaktifan presiden ini sedikit banyak dipengaruhi dengan ketiadaan latar belakang presiden dalam mengelola organisasi TNI. Peran presiden yang masih amat minim ini berbanding terbalik dengan upaya presiden dalam menyelesaikan persoalan ketegangan antara Polri vs. KPK. 

2. Presiden Joko Widodo telah memberikan keleluasaan penuh dengan memperluas cakupan komando teritorial (Koter) menjadi 13 Komando Daerah Militer (Kodam) baru di seluruh Indonesia. Perluasan ‘pos militer’ ini kemudian akan berimplikasi dengan beberapa agenda nasional: (a) Pemilu Kepala Daerah – Pilkada yang juga akan menyedot perhatian sejumlah perwira tinggi TNI untuk turut terlibat sebagai kandidat, (b) Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah2015-2019; termasuk agenda pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, sumber daya manusia yang secara tidak langsung dapat memungkinkan untuk melibatkan TNI melalui skema Operasi Militer Selain Perang (OMTW) – Pasal 7 ayat 2 UU No. 34/2004  tanpa adanya alat ukur yang transparan.

3. Sepanjang kepemimpinan Jenderal Moeldoko (2013-2015), TNI gemar terlibat dalam sejumlah Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding) dengan sejumlah institusi negara non-militer; seperti pengamanan obyek vital negara (terkait dengan infrastruktur), kerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk anggota TNI jelang pensiun menjadi petugas lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, kerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), agenda ketahanan pangan bersama dengan Kementerian Pertanian dan lain sebagainya. Masalahnya adalah publik tidak mengetahui apa alat ukur yang bisa dijadikan standar dalam mengevaluasi model ‘kerjasama’ ini. Jika terjadi penyalahgunaan kewenangan bagaimana model pelaporan bisa dilakukan, apa sanksinya kepada aparat TNI yang melakukan penyalahgunaan kewenangan? Meskipun kita juga sama-sama mengetahui terdapat persoalan kesejahteraan prajurit yang harus diselesaikan, namun melibatkan peran TNI dalam banyak aktivitas sipil juga bukan solusinya.

4. Dilema akuntabilitas dalam tubuh TNI. UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer adalah satu-satunya alat uji akuntabilitas yang kerap dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM. Kasus-kasus terbaru yang ditangani KontraS seperti praktik penyiksaan yang dilakukan aparat TNI AL terhadap supir taksi ilegal di Bandara Soekarno-Hatta (Juli 2015), maupun kasus penggunaan senjata api oleh TNI AD Kodim 1710/Mimika terhadap 4 warga sipil dan 2 warga lainnya yang tewas (Agustus 2015), termasuk komentar kontraproduktif pasca pencabutan larangan peliputan media di Papua adalah wajah dari rendahnya akuntabilitas di dalam tubuh TNI. KontraS juga ingin mengkritisi komentar-komentar yang tidak tepat dikeluarkan baik oleh Jenderal Moeldoko (eks-Panglima) dan Jenderal Gatot Nurmantyo terkait dengan penolakan rencana kewajiban negara untuk mengakui kesalahan dimasa lalu melalui ruang pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat. Merevisi UU Peradilan Militer adalah salah satu kunci untuk mengatasi rivalitas antara TNI dan Polri dalam ruang penegakan hukum; termasuk tunduk pada sejumlah standar HAM internasional yang menjamin perlindungan warga sipil idealnya ko-eksis dengan kewajiban negara menjamin rasa aman.

5. Di masa yang akan datang TNI sebagai pemangku mandat pertahanan negara akan memiliki banyaktantangan dalam mempertahankan profesionalisme institusi –termasuk mempertahankan kemampuan pengelolaan perbatasan dan tantangan-tantangan ancaman pertahanan terkini- jika pemerintah maupun kontrol sipil demokratik masih lemah dalam mengelola strategi pertahanan yang lebih transparan dan akuntabel. Presiden Joko Widodo harus lebih proaktif dalam membangun desain kebijakan pertahanan nasional –termasuk memutakhirkan peralatan tempur 3 matra TNI-, termasuk dalam hal ini membangun tandem diskusi kebijakan yang lebih solid dan konstruktif untuk kemajuan TNI, tanpa harus menarik masuk TNI ke dalam kebijakan-kebijakan publik (lihat No. 3). Di level akuntabilitas, pemerintah harus memberikan standar rigid dan solid yang harus diikuti oleh seluruh jajaran TNI (baik personel dan institusional) tanpa hadirnya komentar-komentar yang bersentimen politik dan kontraproduktif dengan semangat akuntabilitas TNI. Jika poin-poin di atas tercapai maka semangat memodernisasi militer Indonesia yang bisa diandalkan mengikuti dengan tantangan-tantangan di ruang pertahanan negara di masa depan.

Kesimpulannya, Presiden Jokowi sebagai otoritas sipil yang dipilih secara demokratik melalui proses pemilu yang sangat partisipatif justru menunjukan ketidak mampuan mengontrol Militer Indonesia menuju Profesionalitas. Melainkan, cenderung menggunakan untuk tulang punggung politiknya.

Jakarta, 4 Oktober 2015
Badan Pekerja KontraS, 

 

Haris Azhar, MA
Koordinator